Sineas kondang Robert Zemeckis kembali memproduksi film yang bereuni dengan dua bintang Tom Hanks dan Robin Wright sejak Forest Gump (1994), yakni Here. Film unik bak panggung pertunjukan ini diadaptasi naskahnya dari novel bergambar bertitel sama karya Richard McGuire. Selain dua bintangnya, film ini juga menampilkan Paul Bettany dan Kelly Reilly. Setelah beberapa tahun belakangan, film sang sineas gagal box-ffice dan kurang disukai para pengamat, akankah Here mampu mengangkat reputasinya kembali?

Plotnya filmnya secara sederhana mengisahkan peristiwa dari masa ke masa yang mengambil hanya satu lokasi rumah tinggal dengan mengambil perspektif para penghuninya. Di mulai dari era pra sejarah hingga manusia mulai berkoloni di lokasi tersebut menjadi satu pemukiman. Kisah utamanya terfokus pada keluarga Young, sejak awal mereka pindah di sana, Al (Bettany) dan Rose (Reilly), hingga beranak pinak. Porsi cerita terbesar adalah kehidupan sang putra, Richard (Hanks) dan istrinya Margareth (Wright) dan dinamika kehidupan mereka hingga usia uzur. Selipan dari beragam para penghuni rumah lainnya juga disuguhkan secara bergantian.

Here sesungguhnya adalah kisah biasa yang disajikan tidak biasa. Pertama. Film ini nyaris seluruhnya disajikan hanya melalui satu sudut pengambilan gambar saja (kamera statis), di dalam ruang keluarga dengan latar jendela depan yang besar. Film yang berlokasi di satu ruang terbatas, tercatat bukanlah yang pertama, sebut saja 12 Angry Men (1957) hingga di dalam peti mati yang sempit, Buried (2010). Namun dalam konteks feature, belum pernah ada yang mengeksplorasi utuh sepanjang film hanya menggunakan satu sudut pengambilan saja, kecuali hanya satu momen/scene.

Kedua. Film ini dituturkan secara nonlinier yang bergantian menghadirkan para penghuni rumah dari masa ke masa. Jika tak cermat, ini bisa berpotensi membingungkan, walau penikmat film sejati rasanya tak bakal menemui masalah. Sineas tidak menggunakan teks latar waktu, namun memberikan petunjuk melalui musik dan lagu, properti, make-up, kostum, latar gambar di balik jendela, hingga CGI.

Problem terbesar dari satu sudut pengambilan adalah shot-nya yang monoton. Benar, dalam beberapa momen memang terasa agak jenuh dan bosan, namun sang sineas mampu memberikan variasi melalui transisi gambarnya yang variatif, melalui teknik split screen, dissolve, hingga cut biasa. Juga tentu set dan properti yang beragam menyesuaikan latar kisahnya. Teknik split screen dominan digunakan sepanjang film, dengan secara inovatif memberi secuil potongan gambar (berbentuk kotak kecil dalam frame) yang akan muncul untuk scene berikutnya. Ini memang terasa teknis, namun ketika menonton, transisinya begitu halus dari momen ke momen. Sebuah teknik yang inovatif dan brilian dalam mengusung kisahnya.

Baca Juga  Godzilla vs. Kong

Satu lagi problem terbesar karena shot-nya yang lebar (establishing shot) dalam satu ruang dan statis, tidak pernah berganti angle atau sedikit pun bergerak. Sepanjang film nyaris tidak pernah kita dapati ekspresi wajah yang detil dari para pemainnya. Ini tentu berakibat pada sisi emosional penonton yang kurang berempati pada tokohnya. Ya, ini tidak salah. Separuh durasi, saya pun tak mampu berempati secara intim dengan karakternya, terlebih durasi tiap scene tak pernah panjang, sebelum berganti scene berikutnya.

Momen demi momen seperti terasa sebagai sebuah montage yang panjang, tanpa kita sepenuhnya mampu menyatu dengan semua karakternya. Namun, tidak hingga akhir, dan kalimat “time flies” (waktu berlalu dengan cepat) yang beberapa kali diulang, memberi satu pernyataan menggugah. Kehidupan kita layaknya sebuah montage yang panjang dan tidak semua momen akan memberi kesan yang mendalam. Our life is just one big montage. Ini tentu terasa personal dan mereflesikan pengalaman hidup kita masing-masing.

Dengan segala konsep dan pilihan estetik sang sineas, Here adalah satu pencapaian yang terasa personal dengan pesan mendalam tentang kehidupan yang bergulir cepat layaknya montage. Here adalah sebuah pengalaman sinematik yang unik serta digarap begitu dewasa dan matang, selaras dengan pengalaman sosok sang sineas dan para pemain seniornya. Here adalah buah manis dari kolaborasi Zemeckis, Hanks, dan Wright (tak terlupakan pula komposer kolaborator lawas sang sineas, Alan Silvestri dengan alunan musiknya yang begitu membekas) yang senada dengan Forest Gump yang melihat kehidupan melalui perspektif seseorang yang polos. Hanya kali ini, Here memposisikan perspektifnya melalui diri penonton dan pengalaman hidup masing-masing. Walau bukan yang terbaik, namun bagi saya, ini adalah salah satu karya sang sineas yang paling menyentuh.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaBolehkah Sekali Saja Kumenangis
Artikel BerikutnyaPerewangan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.