hutang nyawa

Lagi-lagi muncul film adaptasi kisah dari media sosial, Hutang Nyawa, film horor produksi Visinema Pictures yang debut pada 12 Desember lalu. Disutradarai oleh Billy Christian, film yang diangkat dari postingan horor viral yang dibaca hingga 12,6 juta kali ini memiliki latar menarik, yaitu pabrik tua. Billy Christian sendiri sudah berpengalaman menyutradarai film horor dan juga merilis Marni: Kisah Wewe Gombel tahun ini. Film yang dibintangi oleh Taskya Namya, Muhammad Khan, Rachel Vennya, Mike Lucock, Mian Tiara, Nagra Kautsar Pakusadewo, Lucky Moniaga, Laksmi Notokusumo, dan Krishna Keitaro ini bahkan telah diakuisisi oleh perusahaan global Est N8 pada acara Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) market kemarin.

Erwina (Namya) membutuhkan uang untuk biaya pengobatan rumah sakit putranya yang ia lahirkan di luar nikah, Jody (Keitaro), yang mengalami kecelakaan akibat kelalaiannya di tempat kerja. Saat tiba-tiba ditawari pekerjaan oleh Om Dar (Moniaga), ia dipaksa bekerja di pabrik oleh ibunya yang sakit-sakitan (Tiara) dan kakaknya yang gemar berjudi serta mabuk-mabukan (Pakusadewo). Sesampainya di pabrik tua angker dan misterius yang memproduksi batik, Erwina bertemu para pendiri pabrik itu, yang mengaku mengenal ayahnya yang tak pernah pulang sejak ia kecil. Mereka adalah Ilyasa (Lucock) dan Mbok Rum (Notokusumo), dua tokoh yang sama misteriusnya dengan pabrik itu. Bersama teman sekamarnya, Tri (Vennya), dan rekan kerjanya, Awang (Khan), Erwina berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya sambil mengungkap misteri pabrik batik penuh peraturan aneh ini.

Sebenarnya, premis film ini tidak baru. Tergoda uang, tokoh utama pun terpaksa pergi ke tempat misterius untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Hal ini serupa dengan premis Perempuan Tanah Jahanam (2019) dan Sewu Dino (2023), yang kebetulan juga memiliki tokoh utama perempuan dengan masalah finansial. Namun, cerita Perempuan Tanah Jahanam terasa lebih mirip dengan film ini, termasuk plot twist-nya. Apakah ini hal yang buruk? Tidak. Hanya saja, Perempuan Tanah Jahanam mengemas plot twist-nya dengan lebih baik. Selain itu, sistem kutukan ‘iblis’ di Perempuan Tanah Jahanam dibuat jauh lebih halus, unik, dan menarik.

Di film ini, memang benar cerita ditulis rapi dan adegan-adegannya cukup menarik. Namun, pacing ceritanya sedikit tergesa-gesa dan kasar. Simbol-simbol horor dan objek mengerikan yang muncul, seperti cermin, gramofon, lintah, gunting, gigi, tusukan jarum, tarian-tariannya, hingga stempel batik terlihat acak-acakan tanpa tema utama yang kohesif untuk menghubungkan semuanya. Memasuki klimaks, film ini semakin terburu-buru dan terkesan ‘memaksa’ horornya, sehingga kehilangan keseramannya.

Yang patut disayangkan adalah kurangnya eksplorasi karakter antagonis. Mbok Rum dan Ilyasa tidak mengancam, hanya ‘aneh’. Memang mereka manipulatif, tetapi kurang intimidatif. Mungkin satu atau dua adegan khusus yang menunjukkan kekejaman mereka secara bertahap dan dikemas dengan baik akan membantu. Kekejaman mereka yang ditampilkan secara langsung terasa hambar dan tidak orisinal. Mereka tampak seperti pelayan iblis dengan karakter yang dangkal.

Selain tiga tokoh utama, Erwina, Tri, dan Awang, semua tokoh lain juga terlihat dua dimensi. Mereka hanya ditulis sebagai alat untuk menjebak Erwina dalam situasi ini. Meski tidak semua karakter harus dibuat berlapis, cerita akan lebih menarik jika ada sedikit kedalaman. Sebagai perbandingan, Perempuan Tanah Jahanam dan Sewu Dino sukses menciptakan tokoh pembantu dan antagonis yang memiliki lapisan mendalam. Selain menakutkan, mereka punya alasan kuat memilih jalan itu, bukan sekadar karena uang.

Baca Juga  Dune: Part Two

Untuk film dengan banyak jumpscare, Hutang Nyawa menggunakan teknik ini dengan cukup baik! Memang beberapa mudah diprediksi dan terasa murah, tetapi sebagian besar adegan mengerikan diberi bumbu unik yang efektif. Secara teknis, film ini juga terlihat high-effort dan mulus. Mulai dari framing adegan, keputusan estetik, hingga eksekusinya mencerminkan pengalaman matang para filmmaker.

Adegan-adegan yang menunjukkan hantu atau arwah terasa intens dan mengancam. Atmosfernya benar-benar mendukung, terutama karena para hantu ini memiliki personalitas—bahkan lebih dibandingkan para antagonisnya. Penampilan para hantu cukup proporsional, tidak terlalu sedikit atau berlebihan. Sayangnya, sosok iblis utama justru terkesan… biasa saja. Kemunculannya yang hanya berupa siluet membuatnya terasa anti-klimatik, agaknya menderita penyakit yang sama dengan iblis utama di Santet Segoro Pitu yang rilis beberapa minggu lalu.

Salah satu poin yang patut dipuji adalah sisi misterinya, yang sebenarnya dikemas dengan baik, meski akhirnya tergesa-gesa. Pengungkapan plot twist terlalu rumit dan membingungkan dengan perpindahan lokasi yang berlebihan. Erwina yang terus-menerus diteleportasi oleh iblis menjadi sangat mengganggu. Padahal, dari awal hingga pertengahan, misteri disusun cukup mulus dan menarik. Lalu, ‘apa’ sebenarnya sosok iblis ini, bagaimana kutukannya, dan apa yang ia tawarkan juga kurang dijelaskan dan dieksplorasi. Yah, mungkin dengan mid-credit scene yang menunjukkan bahwa Om Dar masih berkeliaran, keputusan untuk tidak mengeksplorasi si iblis tidak terlalu menjadi masalah besar. Sekuel?

Akting para tokoh utama, terutama Erwina, Tri, dan Awang, terlihat natural. Akting tokoh lain cukup baik, kecuali Lucock sebagai Ilyasa yang berhasil menciptakan kesan unsettling atau ‘menggelisahkan’. Namun, kurangnya eksplorasi mendalam terhadap karakternya membuat konklusinya terasa payah. Namya memerankan Erwina dengan sangat baik. Sebagai tokoh utama dan ‘final girl’, ia berhasil membuat penonton mendukung dan mengkhawatirkan keselamatannya, meskipun keputusan yang diambilnya kadang terasa bodoh. Tri adalah karakter yang sangat mudah disukai, dan Vennya memerankannya dengan baik pula. Mendukung Erwina dan Tri terasa seperti satu paket, membuat film ini lebih seru.

Awang juga mendapat peran menarik di cerita ini. Khan memerankan Awang dan versi kerasukannya dengan sangat natural. Namun, plot cerita yang terlalu dipaksakan membuat karakternya di akhir semakin hambar, apalagi setelah kerasukan. Mungkin karena ia dirasuki iblis utama yang kurang mengesankan, bukan lagi Awang yang asli. Meski begitu, Tri dan Awang adalah dua karakter yang menyelamatkan film ini. Mereka cukup cerdas dan punya tujuan masing-masing, membuat penonton sulit membenci mereka, meskipun mereka egois.

Apakah film ini menakutkan? Ya, cukup menakutkan, meski lebih karena alur cerita dan misterinya yang seru untuk diikuti. Jumpscare-nya pun terasa seru, meskipun beberapa terduga. Jika pacing di akhir lebih seimbang dan tidak dipaksakan, film ini akan terasa lebih menakutkan. Namun, apakah adegan-adegan terseramnya cukup membuat penonton bermimpi buruk? Sepertinya tidak.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaKraven The Hunter
Artikel BerikutnyaThe Lord of the Rings: The War of the Rohirrim

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.