Joker: Folie à Deux adalah sekuel dari Joker (2019) yang sukses fenomenal secara kritik maupun komersial. Film ini masih digarap sineas sebelumnya, Todd Phillips dengan aktor kawakan Joaquin Phoenix masih bermain sebagai sang Joker. Kali ini beberapa pemain bintang juga turut bermain, antara lain Lady Gaga, Brendan Gleeson, Catherine Keener, hingga Steve Coogan. Dengan bermodal bujet raksasa, USD 190-200 juta, apakah film ini mampu mencapai sukses seperti sebelumnya?

Setelah peristiwa film pertama, Arthur Fleck alias Joker (Phoenix) dijebloskan ke dalam penjara atas aksi-aksi pembunuhan brutal yang ia lakukan. Pengacara Arthur, Marryanne(Keener) berusaha melakukan banding untuk mengeluarkan kliennya dari penjara Arkham menggunakan argumen gangguan mental. Di bangsal penjara, Arthur bertemu dengan seorang perempuan muda, Lee (Gaga) yang mengidolakannya. Lee menarik perhatian Arthur dan ia pun seolah memiliki gairah baru untuk hidup. Di persidangan yang akhirnya dikabulkan, Arthur menjadi sensasi di Gotham dengan para pendukung fanatiknya. Bersama Lee, Arthur menjadikan persidangan bak sirkus pertunjukan yang menghibur.

Ya, kisahnya memang masih berlanjut dari sebelumnya, di mana kisah pertama, kita dapat melihat bagaimana sosok yang “lemah” seperti Arthur berubah menjadi sosok brutal “Joker” yang kelak menjadi sosok kriminal legendaris di Gotham dan menjadi musuh abadi sang ksatria malam, or is it? Kisah sekuelnya memang memberi arah ke sana dan kali ini sang sineas bahkan memberi sentuhan segar bagi genrenya, yakni sisi musikal. Aspek musikal menjadi sajian unik yang dominan sepanjang plotnya. Tentu segmen absurd tersebut bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan imajinasi dua tokoh utamanya. Bukan masalah dan bahkan ini adalah sesuatu yang brilian, tidak hingga ending klimaksnya yang mengejutkan.

Dua kasting utamanya bermain all out. Sebagai film sekuel, Phoenix bermain sebagai karakter di mana sang aktor sudah tahu persis bagaimana harus memerankan Joker. Untuk segmen musikal, ini bukan pertama kali Phoenix bermain dalam film yang harus berolah vokal. Tentu kita ingat bagaimana penampilan briliannya sebagai sebagai musikus legendaris Johnny Cash. Partnernya, Gaga, sungguh mencuri perhatian sepanjang penampilannya. Kini kita tahu, mengapa sang diva dipilih, tentu karena kemampuan olah vokalnya. Namun, di luar skill yang membesarkan namanya, Gaga kini berolah akting lebih prima daripada perannya dalam A Star is Born. Bermain sebagai Harleen Quinzel, Gaga mampu memberi karakternya, kedalaman psikologis yang sulit ditebak alam pikirannya. Penampilan Gaga adalah hal terbaik dalam film ini, di samping sisi sinematografi yang amat menawan.

Baca Juga  Coming 2 America

Dengan sentuhan unik, apakah Joker: Folie à Deux berusaha mengisahkan origin Joker yang kita semua tahu, atau ini semua hanya lelucon belaka? Ending-nya jelas bakal menjadi sesuatu yang diperdebatkan penonton karena keluar dari track kisah yang menjadi tradisi “Batman”. Ingin membuat kisah yang berbeda tentu sah-sah saja, namun apa motifnya? Semua petunjuk plotnya jelas mengarah ke semesta Batman, seperti kota Gotham, sosok Harvey Dent, hingga Joker dan Harley. Memang, tak ada sedikit pun nama Wayne disebut. Apakah Gotham hanya menjadi metafora belaka, sebagai simbol betapa kejam dan kacaunya dunia yang kita huni saat ini, namun dengan ending seperti itu apa argumennya? Film pertama begitu brilian menggambarkan betapa kejamnya dunia hingga membuahkan sosok psikopat dingin sekelas Joker. Apa kita harus membayangkan pula, di luar sana, Bruce Wayne kecil tengah bahagia bermain di taman dengan kedua orang tuanya tanpa harus menghadapi trauma membekas yang membuatnya kelak menjadi sosok ikonik di Gotham? Ataukah memang plotnya hanya imajinasi belaka layaknya segmen musikalnya? Silahkan menjawabnya sendiri.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaI, The Executioner
Artikel BerikutnyaThe Wild Robot
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.