look back

Tahun lalu di jaringan bioskop di Indonesia sempat tayang anime tentang remaja yang bercita-cita menjadi mangaka, atau pembuat manga, berjudul The Tunnel to Summer, the Exit of Goodbyes. Tahun ini anime dengan tema serupa juga hadir, dengan cerita yang lebih realistis. Judulnya adalah Look Back. Film ini tayang hari ini (31/7) di jaringan CGV, Cinepolis, dan XXI namun layarnya tergolong sedikit. Segera tonton anime di bioskop sebelum menghilang.

Anime yang diangkat dari manga berjudul sama karya Tatsuki Fujimoto ini bercerita tentang Ayumu Fujino yang sejak kecil senang membuat manga. Karyanya tampil di koran sekolah secara rutin. Fujino awalnya begitu bangga akan kemampuannya membuat manga, hingga gurunya mengijinkan salah satu murid yang jarang ke sekolah bernama Kyomoto, untuk ikut mengisi koran sekolah.

Ketika Fujino melihat manga buatan Kyomoto, ia merasa malu. Ia kemudian memacu dirinya untuk meningkatkan kualitas gambarnya. Hingga suatu ketika ia merasa kemampuannya masih di bawah Kyomoto dan memutuskan berhenti menggambar. Cerita mulai memasuki paruh kedua setelah Fujino berjumpa dengan Kyomoto. Tak seperti dugaan Fujino, Kyomoto anak pemalu, yang mengidolakan dirinya. Fujino kemudian memutuskan untuk bekerja sama dengan Kyomoto dalam mengikuti kontes manga.

Anime dengan tema slice of life cukup banyak penggemarnya. Meskipun dinamikanya tidak seintens animasi dengan genre aksi, namun animasi ini punya daya tarik tersendiri. Daya tarik animasi ini yang pertama adalah desain karakter dari tokoh utamanya. Ayumu Fujino dan Kyomoto digambarkan di awal cerita masih kelas empat SD. Usia yang begitu belia untuk seorang mangaka, walaupun baru tingkat sekolah dasar. Meski masih SD, cerita-cerita yang dibuat oleh Fujino dalam panel manganya rasanya melampaui usianya. Pemikirannya juga begitu dewasa.

Keduanya digambarkan memiliki karakter yang berbeda. Fujino anak yang ekstrovert, mudah bergaul, dan penuh semangat. Sedangkan Kyomoto kebalikannya, ia sering mengurung diri, takut dengan manusia, dan pemalu. Kedua karakter ini jadi saling melengkapi.

Baca Juga  Puss in Boots: The Last Wish

Daya tarik kedua adalah jalan ceritanya yang memiliki unsur fantasi. Unsur fantasi ini membuatĀ  film berdurasi 57 menitan ini menjadi lebih berwarna dan bisa menjadi bahan diskusi yang seru setelah menonton. Apa yang sebenarnya terjadi pada Fujino dan Kyomoto?

Nah, bagian yang membuat anime ini layak diapresiasi adalah kualitas visualnya. Kiyotaka Oshiyama, penulis dan sutradara anime ini sebelumnya kerap menjadi animator utama di berbagai anime terkenal seperti Evangelion: 2.0 You Can (Not) Advance, Letter to Momo, dan series Chainsaw Man, sehingga visualnya tidak diragukan lagi. Dalam film ini desain karakter utama punya art style yang apik, punya sesuatu yang menjadi keunikan tersendiri.

Bagian yang berkesan dari animasi ini ketika gambar manga dua dimensi yang dibuat masing-masing oleh Fujino dan Kyomoko berubah menjadi adegan anime. Dari gambar hitam putih dalam panel berubah menjadi adegan anime dengan pewarnaan, lalu berubah menjadi sebaliknya. Perubahan gaya visual ini memberikan pengalaman menonton yang seru.

Oshiyama juga bermain-main dengan sudut pandang untuk menunjukkan latar adegan. Dari sudut pandang kamera di atas kemudian menukik ke bawah, mengikuti pergerakan karakter. Rasanya seperti menyaksikan film live action yang gambarnya diambil dengan drone.

Untuk musik latar dan theme song, Haruka Nakamura si komposer membuat 16 nomor. Light Song yang menjadi theme song dibawakannya bersama penyanyi Urara. Lagu-lagunya kebanyakan sendu, selaras dengan tone film yang melankolis.

Oh iya meski kedua karakter digambarkan menggambar mulai SD, film anime ini rasanya kurang cocok untuk ditonton segala umur. Oleh karena cerita manga yang dibuat oleh Fujino lumayan brutal untuk anak seusianya. Selain itu juga ada adegan kekerasan di film ini.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaYoung Woman and the Sea
Artikel BerikutnyaFly Me to the Moon
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.