puss in boots the last wish
Puss in Boots: The Last Wish (2022)
102 min|Animation, Action, Adventure|21 Dec 2022
7.8Rating: 7.8 / 10 from 178,709 usersMetascore: 73
When Puss in Boots discovers that his passion for adventure has taken its toll and he has burned through eight of his nine lives, he launches an epic journey to restore them by finding the mythical Last Wish.

Puss in Boots: The Last Wish adalah sekuel dari Puss in Boots (2011) yang merupakan spin-off dari seri Shrek. Sekuelnya kini diarahkan oleh Joel Crawford yang juga mengarahkan The Croods: A New Age. The Last Wish masih dibintangi pengisi suara regulernya, yakni Antonio Banderas dan Salma Hayek, serta kini didampingi Florence Pugh, Olivia Colman, Ray Winston, John Mulaney, serta Harvey Guillén. Film pertamanya yang sukses komersial luar biasa serta diganjar nominasi Piala Oscar untuk animasi terbaik adalah capaian yang sulit ditandingi, benarkah?

Puss (Banderas) yang kini melegenda, harus menerima kenyataan, bahwa sembilan nyawa miliknya, hanya tersisa satu. Ancaman dari kematian memaksanya untuk meninggalkan semua atribut pahlawannya. Puss kini mencoba hidup tenang bersama Mama Luna yang memelihara puluhan kucing. Di sana, ia berkawan dengan seekor anjing yang menyamar menjadi kucing, Perrito (Guillén). Hingga suatu ketika, Goldilock (Pugh) bersama keluarga beruangnya, mencari Puss, untuk meminta bantuan mencuri peta menuju bintang jatuh yang bisa mewujudkan segala impian. Dengan harapan sembilan nyawanya kembali, Puss pun tak berpikir panjang untuk mengincar peta tersebut untuk dirinya sendiri. Selain si jahat, Jack Horner (Mulaney) pemilik peta yang juga mengincar hal yang sama, rekan lama Puss, Kitty (Hayek) juga berniat mendapatkannya.

Baca Juga  Fear Street Part Three: 1666

Walau plotnya ringkas dan sederhana, namun kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya. Temanya, kini terhitung gelap dan dekat dengan urusan kematian. Kematian pula yang mengincar sang protagonis dengan rasa takut yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Walau aksi-aksinya jelas bisa diterima penonton anak-anak (yang mendominasi kursi bioskop ketika saya menonton), namun rasanya bukan untuk tema dan pesannya. Orang dewasa yang menonton, pasti bisa merasakan bahwa kisahnya adalah untuk mereka. Siapa sangka, film hiburan macam ini disisipi tema sedemikian suram. Walau tema dan pesan keluarga yang hangat pun diselipkan pula.

Di luar dugaan, Puss in Boots: The Last Wish tidak hanya menghibur segala usia, namun memiliki pesan tentang hidup yang rasanya hanya dipahami penonton dewasa. Untuk kedalaman temanya, The Last Wish adalah peningkatan besar dari film pertamanya. Tak perlu komentar banyak untuk visual dan pencapaian artistiknya. Standar film animasi sekarang sudah sulit dikatakan buruk. Namun untuk temanya, terhitung langka untuk film animasi populer sejenis. Beberapa film mengingatkan tema gelap/kematian yang sama, catat saja Toy Story 3, Coco, Soul, lalu belum lama ini, Pinocchio versi Del Toro. Film-film animasi ini jelas memberi sisi absurd, dimensi, dan eksplorasi yang berbeda karena visualisasi pengadeganan yang tak mampu dijangkau oleh film live-action. Wajar saja, jika The Last Wish masuk nominasi Golden Globe tahun 2023.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGlass Onion: A Knives Out Mystery
Artikel BerikutnyaGudetama an Eggcellent Adventure
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.