Remake, sekuel, dan prekuel seperti tak ada hentinya, dan kini Disney, merilis sempalan dari salah satu film animasi terbaiknya, yakni Mufasa: The Lion King. Film ini digarap oleh Barry Jenkins dengan didukung Donald Glover, Seth Rogen, Billy Eichner, John Kani, serta Beyoncé Knowles-Carter kembali sebagai pengisi suara tokoh sebelumnya. Sementara Aaron Pierre, Kelvin Harrison Jr., Tiffany Boone, Mads Mikkelsen, serta Thandiwe Newton sebagai pengisi karakter baru. Film andalan Walt Disney di penghujung akhir tahun ini diproduksi dengan bujet raksasa, USD 200 juta. Akankah Mufasa mampu meraih sukses komersial dan kritik seperti sebelumnya?

Walau bertitel Mufasa, namun uniknya, kisahnya juga merupakan sekuel dari kisah The Lion King. Sosok Simba, Nala, Pumpa, Timon, Rafiki, hingga anak Simba, Kiara, juga dihadirkan sebagai pengantar cerita. Kisah raja rimba legendaris ini berawal dari satu insiden banjir bandang yang membuat Mufasa cilik harus berpisah dengan orang tua dan kelompoknya. Mufasa (Pierre) lalu bertemu dengan kelompok singa lain dan tumbuh besar di sana, serta bersahabat dengan saudara barunya, Taka (Harrison).

Problem mulai muncul ketika sesosok singa bengis, Kiros (Mikkelsen) mengambil semua wilayah kelompok singa lainnya, termasuk kelompok yang dipimpin ayah Taka. Dalam satu insiden kecil, putera Kiros terbunuh, dan sang ayah pun murka. Mufasa dan Taka berhasil lari dan dikejar oleh Kiros dan kelompoknya. Di tengah perjalanan, Mufasa dan Taka bertemu dengan Nala, Zazu, dan monyet bijak, Rafiki. Mereka berniat menuju lokasi bernama Milele (Pride Lands) yang konon dikenal sebagai mitos.

Sebagai sebuah prekuel, boleh dibilang, kualitas film ini jauh di bawah film animasi orisinalnya yang rilis tahun 1994, nyaris semua aspeknya. Problem sebuah sekuel adalah bagaimana kisahnya tidak terlihat memaksa karena semua orang tahu bagaimana kisahnya berakhir. Plot Mufasa tak bisa 100% dikatakan memaksa tapi begitu pun sebaliknya. Plotnya nyaris mirip kisah Simba yang harus terpisah dengan orang tuanya dan harus berdamai dengan lingkungan baru, namun sedikit berbeda melalui sisi petualangannya. Kisahnya terasa baru mulai berjalan menarik ketika Mufasa dan Taka dalam pelarian, dan prosesnya juga tidak semenarik yang kita bayangkan karena beberapa faktor.

Dalam perjalanan kisahnya, beberapa hal kecil patut dipertanyakan. Misal saja, mengapa ketika sudah cukup dewasa, Mufasa tidak berusaha untuk mencari kedua orang tuanya? Sejak Mufasa tiba di kelompok ayah Taka, ia tidak terlihat berduka dan justru tampak bersuka ria dengan rekan dan tempat barunya. Ancaman eksekusi dari ayah Taka juga tidak membuat Mufasa ragu untuk mengikuti aksi pertaruhan kecil yang akhirnya ia pun mendapat tempat di sana. Yah, ini semua bisa saja terjadi, namun tampak sedikit terasa memaksa dan janggal. Sebagai pembanding dari kisah orisinalnya, Simba dewasa tidak berniat pulang ke rumahnya (Pride Lands) karena merasa menjadi penyebab sang ayah tewas.

Baca Juga  Slumberland

Kisah prekuelnya ini juga terasa terlalu serius dan agak rumit untuk target penontonnya. Biang keroknya karena tidak ada sisi humor yang kuat. Keberadaan Timon dan Pumba hanya sebagai pengantar cerita dan tidak terlibat dalam plot utama. Sosok Zazu yang dulu bermodal suara cerewet “Mr. Bean” dengan ragam polahnya, kini tidak lagi memiliki sisi humoris yang kental dan sering kali banyolannya garing. Kita tentu tidak berharap banyak dari sosok Rafiki yang sesekali melempar “humor” bijaknya. Minim sisi humor yang membuat penonton, separuhnya diisi anak-anak, tidak bersuara sama sekali. Mungkin mereka terlelap, seperti halnya saya dalam beberapa momennya.

Sisi musikal yang menjadi salah satu elemen terkuat film animasi aslinya (ilustrasi musik menghentak garapan Hans Zimmer dan lantunan Elton John), kini tidak lagi memiliki pesona yang diharapkan. Sejak detik pertama hingga akhir, semua musik dan lagu dalam The Lion King (1994) memiliki sentuhan sempurna dan memberikan kesan mendalam hingga mampu membuat bulu kuduk merinding. Sementara Lagu-lagu yang digarap Lin-Manuel Miranda kurang lebih terasa mirip dan tidak ada satu pun nomor-nomor yang membekas. Sesekali score lamanya digunakan dan ini pun tidak berdampak banyak. Tidak ada sentuhan humor dalam sisi musikalnya bisa menjadi penyebab. Penonton pun masih saja anteng.

Mufasa: The Lion King tidak memiliki cakaran membekas, nyaris dari semua aspeknya khususnya sisi humor. Film ini tentu saja memiliki pencapaian visual yang sangat memukau, seperti remake sebelumnya. Mungkin hanya sisi visual saja, cukup untuk menarik penonton datang ke bioskop. Sukses komersial menjadi jaminan, namun untuk mencapai angka sukses seperti remake (2019) sebelumnya (USD 1.657 miliar), rasanya mustahil. Walau dengan segala kontroversi menyoal plagiarisme, The Lion King (1994) adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah ada dalam medium film dan tidak akan pernah bosan diputar hingga ratusan kali. Secara personal, saya kehilangan sosok James Earl Jones sebagai pengisi suara Mufasa, salah satu yang terbaik untuk karakter animasi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaDevils Stay
Artikel BerikutnyaBlack Doves
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.