Terhitung langka, film yang membincangkan sejarah sinema Eropa di era klasik, tidak hingga kini. Nouvelle Vague adalah film drama-komedi biografi arahan Richard Linklater yang kita kenal melalui trilogi “Before”-nya. Film ini dibintangi oleh Guillaume Marbeck, Zoey Deutch, dan Aubry Dullin. Film ini rupanya mendapat rilis bioskop sebelum minggu depan pada tanggal 14 November tayang di Netflix. Tentunya, film ini bakal disambut antusias oleh para sinefil dan pengamat film.
Pada tahun 1960, para pembuat film muda di Perancis mulai mencuri perhatian dunia, seperti François Truffaut, Claude Chabrol, Eric Rohmer, Agnès Varda, serta tentu saja, Jean-Luc Godard (Marbeck). Godard yang belum pernah mengarahkan film panjang, berniat memproduksi dengan naskahnya sendiri, À bout de souffle (Breathless). Dengan relasinya, tak sulit ia mencari produser dan kru, bahkan ia bisa mengkasting bintang Hollywood kondang, Jean Seberg. Untuk protagonis utama ia mengkasting rekannya sendiri yang juga seorang petinju, Jean Paul Belmondo (Dullin). Sang sineas memiliki gaya eksentrik, jauh berbeda dari cara produksi film konvensional yang ini sering membuat jengkel produser, kru, serta para pemain. But, the show must go on.
Bagi akademisi dan pemerhati sejarah film seperti saya, Nouvelle Vague ibarat mimpi yang terwujud. Belasan tahun menggunakan materi film-film gerakan French New Wave (nouvelle vague) untuk mengajar dan puluhan kali menonton film-filmnya, rasanya bak menonton film sendiri. Breathless adalah sebuah dobrakan revolusioner bagi gaya bertutur dan pendekatan estetik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Melalui banyak literatur dan video, produksi filmnya sudah sering dibincangkan. Semuanya kini tersaji secara ringkas dalam satu film panjang berdurasi 106 menit.
Karena nature kisahnya yang terkait erat dengan sejarah film klasik, para akademisi, kritikus senior, atau sinefil, tentu akan lebih mengapresiasi film ini. Penonton awam yang tidak tahu menahu seluk beluk gerakan sinema French New Wave dan belum pernah menonton karya-karya Godard, khususnya Breathless, serta sineas lainnya, besar kemungkinan bakal kehilangan konteks. Baik kisah maupun inovasi dan capaian estetiknya. Ini adalah kelemahan terbesar filmnya.
Nouvelle Vogue dikemas dalam gaya estetik yang menjadi ciri gerakan sinemanya, tidak terkecuali Breathless. Ini adalah pilihan berkelas dari Linklater untuk mendapatkan mood film-film french New Wave. Film menggunakan warna hitam putih, aspek rasio 4:3, tone gambar lawas yang kasar, gaya dialog yang khas, audio “mono”, hingga score beraliran jazz. Bahkan konon, film ini sepenuhnya diproduksi di Perancis. Bagi yang telah akrab dengan film-film gerakan sinema ini, tentu sudah tidak asing lagi.
Breathless sudah entah berapa kali saya tonton, bahkan hingga hafal adegan demi adegannya. Film ini ringkasnya memperlihatkan bagaimana proses adegan-adegan filmnya dibuat. Tone komedi secara brilian menggambarkan bagaimana Godard secara brutal mengobrak-abrik semua aturan produksi konvensional dengan aturannya sendiri. Filmnya diproduksi secara amatir tanpa perlengkapan memadai (tanpa perekam suara), tanpa lighting, tanpa penata kostum dan rias, bahkan tanpa konsep dan naskah yang matang. Dialog seringkali ia tulis beberapa saat sebelum bahkan saat syuting. Godard pun kerap membatalkan syuting dengan alasan sakit. Poin-poin ini yang menjadi sisi humor sepanjang filmnya.
Ketika Godard mengambil shot dari atas gedung bersama cameraman dan sang aktris hanya berlari menyeberang jalan, saya pun tertawa geli, karena saya tahu persis bagaimana hasil ambilannya yang berdurasi hanya sepersekian detik. Satu shot sepele yang memperlihatkan adegan orang tertabrak mobil, terlihat bagaimana adegan tersebut dibuat dengan beberapa pengambilan. Belum lagi adegan klimaks di jalanan yang melibatkan orang banyak. Siapa sangka, jika sang aktor pun harus berteriak (sewaktu take) untuk mengarahkan orang-orang di sekitarnya agar tidak melihat ke kamera, tetapi ke arahnya. Jika saya sendirian menonton di bioskop, mungkin sudah tertawa lepas. Sewaktu menonton siang tadi, lebih dari separuh bangku studio terisi dan hanya ada segelintir tawa dari penonton.
Sensasi menonton memang luar biasa dan saya secara personal menikmatinya setiap pengadeganannya. Tetapi ada beberapa adegan ikonik yang sayangnya tidak disajikan. Ketika adegan satu shot panjang tanpa putus di sebuah kantor bank, sayangnya hanya secuil pengambilan shot-nya yang diperlihatkan. Satu adegan ikonik lainnya, ketika dua tokoh utama berjalan di keramaian (yang konon menggunakan kursi roda) dan banyak orang yang melihat ke kamera (istilah teknisnya: “bocor”), ini juga tidak divisualisasikan. Satu lagi adalah adegan dua tokohnya yang berkendaraan di Kota Paris yang pastinya sulit untuk divisualisasikan. Editing “jump cut” yang menjadi trademark Godard dalam Breathless juga hanya diperdebatkan sekilas via dialog dalam pascaproduksinya tanpa visualisasi yang memadai.
Kasting adalah satu hal yang menarik untuk diulas. Dua orang yang paling mencuri perhatian adalah Marbeck serta Deutch yang bermain sebagai Godard dan Seberg. Marbeck yang secara fisik amat mirip dengan aslinya, mampu bermain dingin, berselera humor tinggi, sekaligus passionate, karismatik, sebagai sang sutradara muda yang brilian. Kacamata hitam yang menjadi trademark tidak pernah sedetik pun lepas dari wajahnya. Ekspresinya sering kali tampak tidak meyakinkan, seolah ia tidak tahu persis apa yang dilakukan dalam produksi hingga sering kali menjadi bahan ejekan para pemain dan krunya. Deutch sebagai sang bintang Hollywood juga mampu bermain tenang sekaligus jengkel pada Godard, sesuatu yang tidak kita lihat dalam tampilan dalam film aslinya. Beberapa kemunculan “cameo”, sineas-sineas besar di eranya (informasi melalui teks) juga memberi mood begitu kuat dalam adegannnya untuk membangun atmosfir Paris yang seolah tak pernah lepas dari film.
Nouvelle Vague adalah satu bentuk tribute sinema unik dan berkelas melalui pendekatan penceritaan dan estetik salah satu gerakan sinema penting dalam sejarah medium film. Film ini tentunya begitu menggairahkan buat para sinefil dan penikmat film serius. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana Godard memproduksi film Bande à part (Band of Outsider) yang begitu brutal dan spontan melebihi Breathless yang dibintangi istrinya sendiri. Bagi Linklater ini adalah satu karyanya yang terunik sepanjang karirnya. Bisa jadi, karyanya ini memang diperuntukkan bagi penonton film berkelas tinggi, tetapi ini bisa memantik generasi terkini untuk lebih jauh tentang sinema. Nouvelle Vague sebagai gerakan sinema melalui filmnya, mampu memberi energi baru bagi medium film dengan eksplorasi segarnya yang membuat pondasi bagi industri film hingga kini.







