Pan's Labyrinth (2006)

118 min|Drama, Fantasy, War|19 Jan 2007
8.2Rating: 8.2 / 10 from 705,755 usersMetascore: 98
In the Falangist Spain of 1944, the bookish young stepdaughter of a sadistic army officer escapes into an eerie but captivating fantasy world.
Pans’s Labyrinth sejauh ini boleh dibilang adalah film berbahasa asing bergaya ekspresionis yang paling sukses secara kritik. Dalam ajang Academy Awards tahun ini, Labyrinth sukses mendapatkan enam nominasi Oscar dan menjadi kandidat kuat peraih film berbahasa asing terbaik. Dalam puluhan ajang bergengsi lainya termasuk diantaranya, Golden Globe dan Cannes, Labyrinth sukses mendapatkan total lebih dari 30 buah penghargaan. Sejak sukses film ekspresionis pertama Cabinet of Dr. Caligary (1919) hingga sukses Pan’s Labyrinth (2006) telah membuktikan bahwa gaya ekspresionis tidak pernah surut bahkan semakin matang. Boleh jadi kita masih akan melihat karya-karya bergaya ekspresionis yang lebih baik lagi di masa datang; atau mungkin ada sineas kita yang berminat menggunakan gaya ini dalam produksi filmnya.
 
Pans’s Labyrinth merupakan perpaduan antara tema fiksi dan drama berlatar era fasisme masa perang dunia kedua di Spanyol. Film ini merupakan arahan sutradara besar Meksiko, Guillermo del Toro. Filmnya berkisah tentang seorang gadis cilik bernama Ofelia yang konon merupakan titisan putri Moanna yang lari dari sebuah kerajaan antah berantah di dalam perut bumi. Diceritakan Ofelia dan ibunya yang hamil tua pindah untuk tinggal bersama ayah tirinya, Capitán Vidal yang merupakan seorang pemimpin pasukan militer di garis depan melawan pasukan pemberontak. Vidal merupakan sosok yang ditakuti anak buahnya, sadistik, ambisius dan kejam. Di tempat tinggal barunya, Ofelia kemudian dituntun oleh seekor “peri” masuk ke sebuah labirin hingga bertemu sosok makhluk aneh bernama Faun. Faun memberikan tiga buah ujian pada Ofelia yang harus diselesaikannya sebelum bulan purnama agar sang gadis dapat kembali ke tempat asalnya. Tanpa disadari Ofelia, tiga hambatan yang dihadapinya ternyata berdampak besar pada kehidupan nyata.
 
Labyrinth merupakan kisah bertema unik yang sejauh pengamatan penulis belum pernah diangkat sebelumnya. Sejak awal kita dibawa ke dunia dongeng yang seolah mengisyaratkan bahwa film ini adalah untuk anak-anak. Namun adegan sadistik yang diperlihatkan Vidal pada awal film membuang jauh-jauh isyarat tersebut. Del Toro yang telah berpengalaman memproduksi film-film bernuansa horor seperti Devil’s Backbone, Blade II dan HellBoy tampak jauh lebih matang dalam menangani Labyrinth. Dari awal hingga klimaks Del Toro mampu menjaga keseimbangan serta ketegangan alur cerita dengan sempurna antara dunia Ofelia (mimpi) dan dunia Vidal (nyata). Pengaruh gaya ekpresionis hanya tampak pada dunia Ofelia dari setting hingga karakter-karakter unik, seperti faun, katak raksasa serta monster dengan mata di kedua telapak tangannya. Salah satu kekuatan film ini adalah permainan akting yang kuat dari Sergi Lopez sebagai sosok Capitán Vidal yang terjebak dalam ambisinya. Aktris belia, Ivana Baquero yang berperan sebagai Ofelia bermain tidak kalah menawannya. Wajah sendunya mampu menampakkan kesedihan Ofelia yang begitu mendalam namun di saat yang bersamaan ia bisa tersenyum menampakkan mimpi dan harapannya.
 

Dunia Ofelia yang ekspresionistik sangat jauh berbeda dengan dunia Vidal yang realistik. Ofelia terjebak dalam labirin fantasinya seperti juga Vidal terjebak dalam labirin ambisinya. Suatu ketika Faun muncul dan Ofelia yang baru saja kehilangan ibunya langsung memeluk erat mahluk bersosok seram tersebut, begitu pula Vidal yang menembak Ofelia pada klimaks film, menunjukkan betapa kuat upaya mereka untuk mempertahankan mimpi dan ambisinya masing-masing. Ofelia dan Vidal hidup di dunia yang saling berlawanan. Ofelia merupakan simbol cinta, kepolosan, kemurnian jiwa, mimpi, dan harapan yang dimiliki tiap manusia. Sementara Capitán Vidal merupakan simbol kebencian, ambisi berlebihan, ketamakan, serta sisi gelap yang dimiliki tiap manusia. Semua yang dialami Ofelia adalah realitas baginya namun bagi kita segala hal yang terlihat bisa jadi cuma ilusi belaka, persis seperti apa yang kita lihat melalui mata Capitán Vidal, hanya kebencian semata. Cinta memang hanya bisa tampak bagi orang yang mampu menemukannya; jika tidak seseorang akan selamanya terjebak dalam labirin yang ada pada dirinya.

Baca Juga  Tentang Gaya dalam Sinema

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaKuntilanak Versi Baru
Artikel BerikutnyaSinema Ekspresionisme Jerman
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

5 TANGGAPAN

  1. ekspresionisme bukan genre melainkan gaya… iya benar jika alice in wonderland dipengaruhi gaya ekspresionis..

  2. Film ini memang berkesan bgt buatku, dari awal sudah jatuh cinta dengan atmosfer filmnya plus akting Ofelia yg memang menawan. Pembawaan karakter nya benar-benar sangat realistik & patut diacungi jempol ?

    • Cerita unik dan istimewa, setting istimewa, akting istimewa, sayang filmnya cuma meraih nominasi Oscar, seharusnya bisa membawa pialanya pulang. Terima kasih komennya.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.