Era Pasca Perang Dunia II atau Era Film “16 mmm”

Memasuki perang dunia II industri film Thailand praktis berhenti selama beberapa waktu. Pemerintah memaksa banyak studio-studio film untuk memproduksi film propaganda. Dalam perang Thailand bersekutu dengan Jepang sehingga berbuntut tidak masuknya film-film dari Eropa dan Amerika. Hal ini juga kelak berakibat kurangnya stok film 35 mm sejak untuk produksi film sehingga produksi menggunakan film 16 mm yang relatif lebih murah menjadi pilihan. Fase film “16 mm” ini cukup lama berlangsung dari pertengahan dekade 50-an hingga awal dekade 70-an.

Industri film masih mati suri sesaat setelah perang dunia kedua walaupun ada produksi masih sangat minim. Tercatat hanya dua film diproduksi pada tahun 1946, yakni Chai Chatree dan Chon Kawao. Barulah pada tahun 1949 melalui sukses besar, Supab Buruth Sua Tai yang diproduksi menggunakan 16 mm, mengembalikan industri film Thailand dari masa suram. Format 16 mm menjadi populer karena produksinya lebih murah dan prosesnya tidak serumit film 35 mm.

Dalam waktu singkat produksi film meningkat drastis dari 10 film menjadi 50 film setahun hingga periode ini sering disebut era emas kedua. Lebih dari 500 film lokal diproduksi dalam periode ini dan di wilayah Bangkok saja terdapat 150 bioskop dan 700 bioskop di seluruh wilayah negeri, namun film Amerika dan Eropa masih mendominasi bioskop. Periode ini juga memunculkan dua superstar lokal, yakni pasangan aktor-aktris, Mitre Chaibancha dan Pecthchara Chawarat yang mendominasi hampir seluruh film produksi 16 mm. Hanya Mitre seorang pada dua dekade ini memproduksi 265 film!

Produksi film era 16 mm ini memunculkan film dengan gaya konvensional yang lebih membumi, mengadopsi berbagai seni dari literatur, pakaian, hingga seni pertunjukan. Cerita juga menggabungkan beberapa genre sekaligus melodrama, aksi, dan komedi. Setting cerita juga tidak hanya di kota namun di daerah pinggiran dan wilayah terpencil. Hal-hal ini yang menyebabkan film lebih akrab dengan penonton segala kalangan. Hal yang menarik pada era ini juga munculnya ratusan bioskop keliling (outdoor theatre) yang menjangkau daerah-daerah pelosok. Produksi 16 mm juga menarik sineas-sineas muda untuk produksi film berbujet murah. Beberapa diantara mereka kelak menjadi sineas besar pada era mendatang. Era film “16 mm” ini merupakan era bukan hanya milik penonton namun juga para pembuat film.

Baca Juga  Dari Redaksi Montase

Era 70-an hingga 80-an

Ada tiga faktor yang menyebabkan berakhirnya era film 16 mm dan beralih ke film 35 mm sejak awal 70-an. Pertama adalah sukses luar biasa dua film yang menggunakan film 35 mm yakni, Mon Rak Luk Tung (1970) garapan Rungsri Thasanapayak dan Thon (1970) garapan Somboonsok Niyomsiri. Mon Rak Luk Tung diputar di bioskop selama 6 bulan dan sukses menghasilkan 16 juta Bath. Sementara Thon sekalipun hanya sukses meraih 3 juta Bath namun mendapat banyak pujian dari pengamat. Sukses dua film ini banyak menginspirasi studio film lokal kemudian beralih ke 35 mm. Faktor kedua adalah film 35 mm dan proses laboratorium di Hongkong jauh lebih murah ketimbang proses laboratorium yang sering mereka pakai yakni di Inggris. Faktor ketiga adalah kebijakan pemerintah di awal era 70-an yang mendukung penggunaan produksi film 35 mm.

Krisis energi di pertengahan era 70-an sempat menurunkan industri film di Thailand akibat pembatasan jam pemutaran bioskop namun kebijakan tersebut segera direvisi pemerintah. Bioskop masih didominasi film-film Amerika dan Eropa. Para pengusaha bioskop lebih menguntungkan memutar film-film barat ketimbang film-film lokal yang rata-rata berdurasi lebih panjang. Untuk memicu produksi film lokal, pada tahun 1977, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak film asing yang berujung pada boikot film-film Amerika oleh MPEAA (Motion Pictures Export Association of America) hingga tahun 1981. Produksi film lokal meningkat pesat dan 161 film diproduksi hanya pada tahun 1978 saja. Namun sebagian besar film yang diproduksi adalah film aksi berkualitas rendah hingga para pengamat mengistilahkan sebagai film “nam nao” (air yang terkena polusi /bau).

Era 80-an, industri film mendapat persaingan berat dari televisi dan pemutar video. Sebagian besar orang sudah merasa cukup mendapat hiburan murah dari layar kaca televisi dan video. Pengusaha bioskop besar banyak gulung tikar dan muncul bioskop-bioskop mini (cineplex) di mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi remaja. Merespon hal ini industri film mulai mengubah strategi pasar dengan memproduksi film sasaran penonton remaja dan genre ini mendominasi pasar hingga awal dekade 90-an.

1
2
3
Artikel SebelumnyaFirst Love
Artikel BerikutnyaDari Redaksi Montase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.