Sepertinya film horor kali ini telah digadang-gadang kesuksesannya di Indonesia. Diproduksi oleh MD Pictures dan Barunson E&A, serta disutradarai oleh Upi Avianto, Sorop diharapkan mencapai kesuksesan yang sama dengan film-film yang berasal dari thread horor buatan SimpleMan lainnya, termasuk KKN di Desa Penari. Film ini dibintangi oleh Hana Malasan, Yasamin Jasem, Egy Fedly dan Ratu Felisha.
Dua bersaudari Hanif (Malasan) dan Isti (Jasem) mendapat kabar bahwa Pakde mereka, Khair (Fedly), sedang berada di masa sakaratul maut dan meminta mereka datang untuk berkunjung sebelum dia meninggal. Namun begitu mereka tiba dan Khair meninggal, mereka justru terjebak di rumah itu dan dihantui oleh sosok Pakde mereka yang seolah-olah terus pulang ke rumah meski sudah meninggal. Mereka pun berusaha mengungkap misteri yang menghantui mereka seputar Puasa Sorop yang dilakukan seseorang untuk menyiksa mereka selama empat puluh hari hingga mereka mati.
Ah, kembali lagi dengan cerita yang melibatkan masa lalu misterius tokoh utama. Sepertinya film ini bisa dibandingkan dengan Perempuan Tanah Jahanam (2019), menceritakan seorang, atau dalam kasus ini, dua tokoh utama perempuan yang pulang ke rumah di desa karena satu dan lain hal, dan terjebak di sana karena suatu kejadian misterius. Seperti pula dengan film horor yang baru-baru ini muncul, Hutang Nyawa, mereka tidak bisa kabur karena ada suatu ‘penghalang’ yang memaksa mereka tinggal.
Memang, film ini memiliki sisi teknis yang menonjol, dengan pengemasan yang jelas high-effort. Filmmaker jelas menunjukkan pengalaman dan keahlian mereka dengan baik. Namun, seperti pula dengan banyak komentar-komentar negatif para penonton di internet, pengulas setuju bahwa film ini sangat membosankan. Film ini mengambil waktu yang sangat lama dalam menunjukkan poin-poin ceritanya, dan memiliki adegan-adegan seram yang repetitif.
Ceritanya sendiri juga dinarasikan dengan lambat, dengan informasi yang terlalu pelit dikeluarkan. Memang, pada dasarnya ceritanya sudah simpel, sehingga tidak banyak yang perlu diungkapkan. Namun, kesannya jadi menyeret-nyeret plot ceritanya. Plot twist-nya sendiri terasa hambar setelah sekian lama misterinya dibangun.
Apalagi, kedua tokoh utama perempuan dibawakan dengan menyebalkan dan kurang cerdas. Sudah melihat masa kecil mereka yang aneh dan dihantui, kedua orang tua yang meninggal tidak wajar, eh, mau-maunya kembali ke rumah. Yang lebih menyebalkan lagi, mereka juga masih bersedia tinggal lama di rumah itu, padahal rencana hanya sebentar! Bodohnya, Bulik mereka sudah tahu ada hal yang tidak beres di rumah itu, tapi masih saja membiarkan dua keponakannya tinggal di sana berhari-hari berdua—dan tidak memanggil ustad atau dukun untuk membantu pula! Bukannya si Bulik ini yang melarikan mereka keluar dari rumah terkutuk ini bertahun-tahun lalu? Benar-benar tidak punya nalar bertahan hidup!
Ini jugalah salah satu yang membuat film terkesan lama dan membosankan. Film horor akan lebih efektif jika alurnya lebih cepat di jangka waktu yang singkat, seperti dalam waktu semalam atau lebih, namun mengandalkan time skip. Ini justru memaksa penonton menyaksikan setiap kejadian horor repetitif yang terjadi di rumah ini, seperti kemunculan karakter asli dan karakter palsu jadi-jadian hantu, Pakde Khair yang ratusan kali memanggil-manggil ‘Sinom’, dan sedikit-sedikit muntah tanah berbelatung. Semakin sering Pakde muncul, semakin tidak mengerikan kemunculannya. Justru membuat bosan dan kesal.
Kabarnya, film ini berasal dari thread yang belum selesai ditulis. Apakah itu pula yang membuat ending ceritanya agak absurd dan memaksa? Yah, memang, penyelesaiannya sendiri terasa memaksa, dan itu membuat ending-nya lebih masuk akal, bahwa mereka tetap tidak bisa lari dari si makhluk jahat. Tapi ya sudah, begitu saja? Memang tidak ada jalan keluar? Berarti kebodohan mereka untuk kembali ke rumah itu menjadi semakin bodoh lagi. Tapi lucu juga melihat kekuatan si makhluk yang telah menyelesaikan Puasa Sorop tidak bisa menggapai mereka yang jauh dari kampung.