Disarankan kuat untuk menonton serinya sebelum membaca ulasan ini.

Seri yang dinanti-nanti para fansnya, Squid Game, akhirnya merilis musim keduanya minggu lalu. Musim pertamanya tercatat sebagai seri rilisan Netflix yang paling banyak ditonton sepanjang sejarah platform-nya. Squid Game S02 ini masih ditulis dan digarap oleh Hwang Dong-hyuk. Film ini masih dibintangi beberapa nama besar regulernya, yakni Lee Jung-jae, Wi Ha-joon, dan Lee Byung-hun. Seri musim kedua ini memiliki total 7 episode (dua episode lebih sedikit dari sebelumnya). Lantas, apakah seri musim kedua ini mampu memberikan satu pertunjukan hiburan yang menegangkan seperti sebelumnya?

Setelah peristiwa pada seri sebelumnya, Seong Gi-hun (Jung-jae) masih berambisi untuk membalaskan dendamnya pada pucuk pimpinan gim Squid Game yang dijuluki The Front Man. Niatnya adalah untuk menghentikan gim berdarah tersebut. Selama dua tahun penuh, bersama tim dan uang yang ia miliki, ia mengamati semua stasiun metro di Seoul untuk mencari orang yang menjadi pintu masuk ke permainan tersebut. Sebaliknya, Gi-hun justru terjebak yang memaksanya untuk ikut dalam gim untuk kedua kalinya. Dengan segala upaya, Gi-hun berupaya keras untuk menghentikan gim, namun sisi gelap munusia adalah sesuatu yang tidak mungkin sirna.

Kita semua tahu, sekuel seri Squid Game adalah sesuatu yang tidak terhindarkan melihat sukses fenomenal musim pertamanya. Saya memberikan apresiasi begitu tinggi dengan komentar, “Squid Game adalah perpaduan naskah brilian, sisi hiburan dan estetik dengan kedalaman cerita, sekalipun sisi sadisnya membuat tidak semua penonton bakal menikmatinya” dan memberikan skor 90/100. Squid Game adalah sesuatu yang menyegarkan dengan sisi ancaman, kejutan, dan ketegangan yang teramat kuat, plus nilai moral yang relevan dengan situasi sekarang. Tentu tak mudah bagi seri musim keduanya untuk mencapai level tersebut dan tidak terjebak dalam sebuah “sekuel seri” rutin.

Sisi kejutan yang kita rasakan pada musim pertamanya kini tak lagi menjadi poin inti cerita. Kita semua tahu permainan ini bakal ada dan korban bakal kembali berjatuhan. Ini tentu membuat kisah musim kedua harus memiliki strategi yang berbeda. Apa itu? Sosok Gi-hun tentunya dan The Front Man (Hwang In-ho) sendiri yang kini berpastisipasi sebagai peserta. Sosok Jun-ho (adik In-ho, terkuak di musim pertama) seharusnya memiliki peran lebih, namun kini hanya terlihat sebagai selipan ketimbang terlibat dalam plot utamanya. Gi-hun dan In-ho adalah dua sosok yang menjadi kunci terbesar dalam naskah musim kedua ini.

Kehadiran sang bos Squid Game (In-ho) sebagai peserta tentu adalah sebuah kejutan yang tidak sulit diantisipasi kelak. Ini bisa menjadikannya sebagai sebuah strategi yang brilian atau justru malah konyol jika sosok ini tidak diperlakukan dengan hati-hati. Sepanjang seri kedua, identitasnya masih ter-cover dengan rapi. Sementara Gi-hun menjadi satu-satunya peserta yang memiliki knowledge tentang gim ini ketimbang siapa pun. Hal ini tentu membuat naskahnya memiliki potensi yang segar dan mampu memantik rasa penasaran besar kepada penonton. Apa yang bakal Gi-hun lakukan jika tahu persis bahaya akan datang? Hal ini terjadi sewaktu mengawali gim pertama dan naskahnya cukup cerdik mengemas ini, tanpa memaksakan sosok ini menjadi seorang pahlawan.

Baca Juga  Keluar Main 1994

Naskahnya rupanya juga cukup cerdik untuk tidak terjebak dalam pengulangan yang sama. Gim kedua dan ketiga sama sekali baru dengan memberikan kejutan besar yang tone-nya senada dengan apa yang kita rasakan pada musim pertama. Sisi ketegangannya pun sama dan kali ini, Gi-hun tidak mampu mengantisipasi apa pun. Konflik juga kini terpusat pada dua kelompok besar, yakni “merah” yang berniat menghentikan permainan dan “biru” yang ingin melanjutkan permainan. Konfrontasi (adu mulut & fisik) antar kelompok tidak terhindarkan. Pembeda kini hanya para karakternya, yakni influencer, eks militer, perempuan tua, sepasang muda-mudi, perempuan hamil, LGBT, sebagai gimmick cerita. Permainan di arena berputar menjadi satu permainan menghebohkan yang sisi ketegangannya nyaris setara dengan gim jembatan di musim pertama. Konflik cerita pun semakin genting menjelang episode akhir, tidak hingga satu kekonyolan hebat terjadi.

Apa yang terjadi selanjutnya dengan naskahnya sungguh tidak bisa dipahami. Seolah penulis ingin bersegera menyudahi cerita serinya dengan cepat tanpa argumen yang memadai. Kita harus ingat betul, apa yang menjadi motif utama (mulia) dari Gi-hun adalah untuk menghentikan Squid Game yang alasannya tentu adalah sisi kemanusiaan (yang juga menjadi poin moral kisahnya).

Entah bagaimana dan dari mana idenya, Gi-hun menginiasi sebuah rencana yang begitu brutal dan bodoh untuk melabrak langsung “ruang kontrol” gim di atas sana. Itu pun dengan cara edan dan tak manusiawi, mengorbankan sesama rekan “merah” hanya untuk mengambil alih senjata para penjaga (???). Lantas bagaimana mereka bisa memastikan apa yang ada di luar sana, berapa banyak penjaga, cadangan amunisi, dan bahkan mereka pun tidak tahu bagaimana menuju ruang kontrol tersebut. Ini sungguh-sungguh absurd dan “membunuh” semua jalinan cerita yang dibangun sebelumnya. Sungguh tidak bisa dipahami bagaimana Gi-hun bisa merencanakan hal brutal semacam ini dan tidak ada faktor apa pun yang memperlihatkan sosok ini bisa berubah sikap.

Squid Game S02 berupaya keras untuk mengeksplorasi kisahnya tanpa terlihat memaksa dan repetitif, tidak hingga segmen klimaks konyol yang membunuh plotnya sendiri. Lantas untuk apa semua kelokan plotnya yang telah dibangun dengan cukup hati—hati? Kita tahu, semua orang ingin seri ini berlanjut, namun apalah artinya tanpa plot yang bernalar. Seri musim kedua ini semata hanyalah mesin pencetak uang bagi platform-nya dan akan terus berlanjut hingga penonton bosan. Motif serinya, ketamakan manusia, rupanya selaras dengan proses dan motif produksinya. Sayang sekali, seri ini sesungguhnya memiliki potensi kedalaman cerita yang lebih jika ditangani secara bijak. Konon, seri ketiga dan keempat tengah dalam proses produksi. Jika ada tombol merah untuk “out” seri ini, saya adalah orang pertama yang akan melakukannya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaBlack Dog
Artikel BerikutnyaMy Favourite Cake
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.