Purwoko Ajie – Montase Film Independen

“…Karena ada merah di darah kalian! Ada putih di tulang kalian! Ada Indonesia, di dada kalian! Kita berjuang malam ini untuk Indonesia. Jika kalian kalah malam ini, jangan pernah meninggalkan alasan! Sampai diluar sana orang mencela kalian. Karena kalian akan berjuang sampai titik darah penghabisan!”

 

— Coach Timnas (J. Kara) “dinamika ruang ganti” (Elang, 2025) —

Apa yang terbesit di hatimu jika mendengar kata Sepak bola? Bola sepak? Atau judi online bola? Rasa-rasanya sudah tidak asing lagi bahkan kaum awam sekalipun. Sepak bola bukan sekadar ilusi permainan. Ia adalah mimpi yang diwariskan, harapan yang digantungkan, dan di negeri ini terkadang menjadi sandera bagi kepentingan kotor segelintir insan tak bertulang; licin nan menjijikkan. Mayoritas masyarakat Indonesia mencintai sepak bola dengan gairah yang membakar stadion, namun juga dengan luka yang mengendap dalam sunyi. Di balik sorak-sorai suporter, ada intrik yang membungkam sportivitas dan menggadaikan moral & martabat bangsa. Saya pikir, kita semua sepakat, 10-15 tahun terakhir ini (atau bahkan jauh dalam irama dekade sebelumnya) mafia bola itu kental terasa. Lihat saja mulai dari liga tarkam sampai kepada liga top-nya, T-O-P sekali bukan?

Di awal Januari 2025, kita disajikan sebuah film berjudul Elang (2025), karya terbaru Rizal Mantovani. Kisahnya tentu saja menyibak sisi kelam dunia sepak bola: ketika pertandingan tak lagi ditentukan oleh taktik dan semangat juang, melainkan atas transaksi di balik layar serta “ancaman berdarah.” Namun Elang bukan hanya tentang konspirasi mafia bola. Ia adalah kisah tentang anak yang memilih menjual masa depan demi menyelamatkan ibunya dari penyakit yang merenggut ingatan. Gejolak di antara keluarga yang terasa retak, cinta sehati, tanggung jawab, serta pengorbanan. Tentang tubuh yang dilatih untuk menendang bola, namun justru harus menendang balik ketidakadilan. Di persimpangan antara kehormatan bangsa dan kesehatan Ibu, Elang mengajak kita bertanya: sejauh mana seorang anak bangsa boleh berkompromi demi cinta yang paling semu kala purba?

Baca Juga  Menuju Malam Puncak FFWI XI: Persaingan Ketat Para Kandidat

 

[Disclaimer: Tulisan ini ditujukan sebagai bentuk emosional hati, keresahan pribadi serta kritik film yang dikemas sebagai bentuk keberimbangan; antara sinema dan fakta yang sebenarnya. Saya pribadi hanya suporter medioker yang cinta 1.000% pada Timnas Indonesia, serta tak berafiliasi dengan pihak manapun.]

NEXT: Tendangan dari Ruang Ganti: Jalan Terjal dan Nestapa Sunyi

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaNobody 2 | REVIEW
Artikel BerikutnyaMaterialists | REVIEW
Purwoko Ajie or better known as Puralexdanu Patjingsung was born in Ciamis, West Java, on October 13, 1995. He studied at the Television and Film Study Program from 2015 to 2019 at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta. He has continued his Postgraduate studies at the Cultural Studies Program, Faculty of Cultural Science, Sebelas Maret University, Surakarta, from 2022 until 2024. During college, he was more active in the world of writing, both independent books, film scripts, and cultural studies journals, especially research in films (Google Scholar link: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ&hl=id&oi=ao). The first books he wrote were novels based on his personal stories, such as “Cinta Piramida” (2015) and “From Something To Nothing” (2018), published independently. He became one of the authors of a book about films entitled “30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018”, published collectively by Montase Press. Several scientific journals have also been written and published in national and international journals. He is also occasionally active in the production of short fiction and documentaries. He has loved the world of film since childhood; his first film was made in junior high school in 2009, entitled “Salah Pelet”. In 2016, with his university colleagues, he made a short film entitled “Dakoen Doerang (Past & Now)”. This film is the first time it has been brought to an international film festival in the World Cinema, International Children Film Festival 2018 in India. Then in early 2018, he also produced a documentary entitled “Teguh Between The Collapse of Gemstone”, and in the same year, it was also appreciated at various international festivals. Now he continues to focus on learning to write script, make short films, and focus on cultural studies that discuss films.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses