Wicked (Part One) adalah film fantasi musikal arahan John M. Chu. Film ini diadaptasi dari pertunjukan teater populer bertajuk sama karya Stephen Schwartz dan Winnie Holzman yang diadaptasi lepas dari novel Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West (2015) karya Gregory Maguire. Novel ini pun sesungguhnya dikembangkan dari novel klasik karya L. Frank Baum, The Wonderful Wizard of Oz (1900) yang mengilhami film klasik masterpiece, The Wizard of Oz (1939). Cukup rumit bukan adaptasinya?
Wicked dibagi menjadi dua bagian yang kelak lanjutannya dirilis tahun depan di bulan yang sama. Adapun beberapa pemain bintang, turut bermain di dalamnya, yakni Cynthia Erivo, Ariana Grande, Jonathan Bailey, Ethan Slater, Bowen Yang, Marissa Bode, Peter Dinklage, Michelle Yeoh, hingga Jeff Goldblum. Film ini diproduksi Universal Pictures dengan bujet sebesar USD 145 juta. Akankan popularitas pertunjukan teater dan film klasiknya mampu mengangkat film ini?
Kisah Wicked memang lebih mudah diikuti jika pernah menonton The Wizard of Oz (1939). Film musikal klasik ini berkisah tentang petualangan gadis remaja cilik bernama Dorothy di negeri fantasi Oz. Ditemani tiga sobatnya, mereka menuju Emerald City untuk bertemu sang penyihir agung yang bisa mengabulkan semua permohonan. Dalam kisahnya, Dorothy bersinggungan dengan sosok penyihir baik bernama Glinda dan penyihir jahat bernama The Wicked Wicth. Alur kisah Wicked, singkatnya adalah latar belakang dari kedua sosok penyihir tersebut yang dikisahkan dulunya bersahabat baik.
Galinda yang kelak berganti nama Glinda (Grande) dan Elphaba (Erivo) bersekolah di sekolah sihir Shiz University. Kontras dengan sosok Glinda yang jelita, Elphaba terlahir buruk rupa dengan kulitnya yang berwarna hijau, namun ia memiliki potensi kemampuan sihir yang hebat. Kisahnya menggambarkan perseteruan dan keseharian antara Glinda dan Elphaba, hingga kelak mereka berdua bersahabat baik. Tidak hingga, Elphaba dan Glinda akhirnya pergi ke Emerald City dan bertemu sang penyihir besar (Goldblum) di mana mereka menemukan segalanya ternyata adalah sebuah kebohongan besar yang ditutupi.
Plot utamanya sesungguhnya adalah kilas balik yang bertolak dari masa kini (cerita The Wizard of Oz). Kita pun secara sekilas bisa melihat Dorothy dan tiga rekannya berjalan menuju Emerald City. Hal ini sesungguhnya yang membuat plotnya menarik bagi fans film klasiknya. Bagi yang telah menonton versi klasiknya, bakal tahu persis posisi kisahnya ada di momen mana, yakni ketika The Wicked Witch dikabarkan telah tewas. Momen ini yang menjadi topik pembuka kisah The Wicked.
Saya belum pernah menonton versi teater The Wicked yang konon diadaptasi secara penuh dan loyal oleh sang sineas. Seberapa loyal? Tentu tidak bisa saya ukur, namun tidak untuk film versi klasiknya. Senada dengan film klasiknya, Wicked nyaris 50% adegannya merupakan segmen musikal. Bagi yang bukan penikmat genre musikal tentu bakal berjuang keras untuk tidak merasa bosan, terlebih durasi filmnya yang mencapai 160 menit. Jujur saja, film ini terasa melelahkan dalam beberapa momennya.
Semua segmen musikalnya disajikan secara apik dan dinamis dengan lantunan vokal merdu dari para kastingnya. Kita tahu persis sekarang motifnya, mengapa dua bintang utamanya adalah seorang penyanyi profesional. Untuk kemampuan akting mereka, Ariana Grande bisa diperdebatkan dengan penampilannya yang lebai dan tanpa emosi, sementara Erivo bermain lebih apik dan ekspresif. Penampilan akting Ariana banyak tertolong oleh segmen musikal di mana kemampuan vokalnya lebih unjuk gigi.
Mirip versi klasiknya, segmen musikalnya beberapa kali disajikan secara kolosal dengan puluhan bahkan ratusan figuran dengan desain artistik yang sangat menawan. Jika dibandingkan dengan Wonka, Wicked jauh lebih megah dan besar, namun kualitas lagu dan musiknya sepadan melalui beberapa nomor manis yang nyaman di telinga. Namun untuk efektivitas cerita, Wonka terasa lebih padat dan to the point, sementara Wicked agak terasa mengulur-ulur. Walau akhirnya kelemahan ini sedikit tertutup oleh segmen klimaksnya yang membahana. Wicked mampu memberi tendangan akhir yang begitu membekas dan bisa saya anggap sebagai salah satu yang terbaik untuk penokohan sosok antagonis.
Satu lagi kisah eksposisi tokoh antagonis, Wicked, dengan pengemasan kolosal dan musikal yang kelewat panjang, namun terangkat oleh segmen klimaksnya yang menggigit. Dalam gedung studio, saya melihat beberapa orang tua membawa putra-putri mereka, walau saya tak yakin mereka bakal mampu menikmati cerita filmnya. Motif karakter dan arah cerita bakal terasa membingungkan dan kompleks. Sulit untuk memahami kisah film ini secara utuh tanpa melihat versi klasiknya karena selipan segmen musikalnya membuat kontinuiti kisahnya kadang lepas dan kadang pula berganti mood cerita secara mendadak. Saran saya sebelum menonton film ini adalah tonton versi klasiknya. Kita juga masih harus bersabar menantikan kisah lanjutannya setahun lagi.