Siapa yang tidak tersentuh hatinya melihat seorang nenek tua yang berekspresi melas sepanjang film? Perjalanan panjang nenek renta menjadi daya tarik yang mengundang empati dan simpati para penonton. Film Ziarah ditulis dan disutradarai oleh B.W. Purbanegara ini memenangkan berbagai penghargaan, antara lain Film Terbaik Pilihan Juri dan Skenario Terbaik di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.

Ziarah menceritakan perjuangan nenek Sri yang mencari makam suaminya yang dikabarkan meninggal saat berjuang dalam melawan Agresi Militer Belanda II di wilayah pinggiran Yogyakarta puluhan tahun yang lalu. Banyak kendala yang dihadapi nenek tersebut, melelahkan dan menyedihkan. Desa demi desa, ia telusuri dengan segenap harapan dan kerinduan kepada orang yang dicintainya, suami yang maju ke medan perang.

Film fiksi berdurasi 87 menit ini terasa amat lambat dan mengundang kantuk yang menyiksa. Tetapi, rasa penasaran dan keibaan pada nasib sang nenek cukup membuat mood  terjaga untuk terus melotot memandang layar yang kualitas gambarnya sederhana. Untung saja keindahan daerah pedesaan Gunung Kidul dapat menyegarkan mata. Bagi orang yang terbiasa tinggal di kota, tentu saja nuansa pedesaan seperti yang disajikan dalam film ini menjadi begitu eksotis nan syahdu. Aspek sinematografi sangat ditunjang dengan keindahan alam yang menjadi setting film, sayangnya shot yang disajikan tampak kurang kaya akan variasi teknis.

Mengusung kearifan lokal yang kental, Ziarah menggunakan bahasa Jawa sepanjang film dan diperankan dengan baik oleh para pemain yang mendukung kualitas film. Sosok Mbah Sri yang diperankan Sutiyem bermain cukup baik dengan ekspresi dan bahasa tubuh yang begitu representatif. Meskipun tidak dapat dikatakan istimewa, aksi nenek berusia 95 tahun ini pantas diberikan apresiasi mengingat beliau bukanlah pemain film profesional. Pemain pendukung lainnya pun berakting dengan luwes. Andai saja kehadiran sutradara-sutradara kenamaan, seperti Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth sedikit lebih dieksplorasi, mungkin dapat memberikan kesan yang lebih mendalam sebagai cameo.

Sebagai film drama yang menyedihkan, Ziarah belum secara maksimal mengambil hati penonton untuk meneteskan airmata karena begitu tersentuh dan terkesan dengan adegan-adegan yang disajikan. Harapan untuk membuat penonton berurai airmata rasanya masih terlalu muluk-muluk jika hanya mengandalkan rasa iba yang disebabkan oleh kehadiran nenek renta yang melakukan perjalanan jauh untuk berziarah. Bagian cerita yang menampilkan karakter-karakter pendukung tampak kurang gereget sehingga tidak berdampak signifikan pada mood film.

Baca Juga  Babi Buta yang Ingin Terbang

Film yang menceritakan pencarian suami tercinta berlatarbelakang perang juga pernah disajikan dalam film Italia garapan Vittorio de Sica berjudul Sunflower (1970). Film ini memiliki kedalaman cerita yang detail dengan menyajikan adegan-adegan dramatis yang mengiris hati. Pengucapan janji untuk setia selamanya, motivasi turun ke medan perang, kenangan-kenangan manis kebersamaan sepasang kekasih di masa muda, serta motivasi pencarian sang suami dapat menjadi detail eksplorasi cerita yang menambah emosi film. Jika saja eksplorasi ini dilakukan dalam film Ziarah tentu saja akan memberikan kesan yang begitu mendalam di akhir cerita sehingga pesan moral yang ingin disampaikan dapat lebih menyentuh hati. Sehingga, perjuangan seorang perempuan secara psikis dan fisik dalam hubungan percintaan juga dapat ditampilkan dengan lebih mengesankan.

Film panjang garapan sineas Yogyakarta telah melanglang buana menapaki jejaknya di berbagai festival internasional mewakili nama Indonesia dengan meraih banyak nominasi dan penghargaan. Bersama film-film sebelumnya, yaitu Siti (2014) karya Eddie Cahyono dan Istirahatlah Kata-Kata (2016) garapan Yosep Anggi Noen, ketiganya menyajikan film yang berlatar belakang isu sosial di Indonesia dengan tempo lambat dan adegan-adegan sederhana (minim aksi). Film sejenis ini mungkin memang memiliki nilai keseksian yang tinggi di ranah festival film internasional yang sangat tertarik dengan unsur kearifan lokal yang menjadi daya tarik suatu daerah tertentu. Tetapi jika film sejenis terus menerus diproduksi dikhawatirkan akan menimbulkan kejenuhan. Seakan-akan produksi film Indonesia menjadi jalan di tempat. Sepertinya, sineas perlu menciptakan inovasi-inovasi baru yang dapat menambah keseruan film baik dengan memproduksi film dengan genre yang lebih bervariatif ataupun menyajikan film dengan kedalaman naskah dan dramatisasi yang lebih menarik sehingga memberikan kesan yang lebih mendalam dengan kualitas yang lebih membanggakan.    

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaKiprah Film Indonesia di Festival Film Internasional, Apa Pengaruhnya?
Artikel BerikutnyaPirates of the Carribean: Salazar’s Revenge
Menonton film sebagai sumber semangat dan hiburan. Mendalami ilmu sosial dan politik dan tertarik pada isu perempuan serta hak asasi manusia. Saat ini telah menyelesaikan studi magisternya dan menjadi akademisi ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.