Sebuah kabar indah datang dari jagat sinema kita: film karya anak bangsa, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak lolos Festival Film Cannes 2017 yang bakal berlangsung 18-28 Mei nanti. Bukan kompetisi utama, memang. Melainkan lolos seleksi sesi Directors’ Fortnight (Quinzaine des réalisateurs).

Meski bukan sesi kompetisi utama, Directors’ Fortnight lumayan bergengsi. Sesi itu sendiri adalah kegiatan pendamping Festival Film Cannes yang berdiri secara independen. Ajang ini menampilkan film pendek, film panjang, maupun dokumenter dari sineas di seluruh dunia.

Sejatinya pula, bukan kali pertama ada film Indonesia lolos ke Cannes. Kiprah sinema kita di Cannes dimulai lewat Tjoet Nja’ Dhien (1988) karya Erso Djarot. Di Festival Film Cannes 1989, film itu ikut program La Semaine de la Critique untuk kategori film panjang dan meraih penghargaan Best International Film. Kemudian, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho diputar di program Un Certain Regard di Cannes 1998. Setelahnya, sejumlah film panjang dan film pendek Indonesia masuk sesi Directors’ Fortnight, Un Certain Regard serta La Semaine de la Critique.

Sineas kita pun tak selalu pulang dengan tangan hampa. Tahun lalu, misalnya, film pendek karya Wregas Bhanuteja, Prenjak meraih penghargaan Leica Cine Discovery Prize di sesi Semaine de La Critique. Di luar Cannes, film Indonesia telah banyak bicara di panggung internasional. Sejarahnya bahkan bisa dirunut hingga ke masa Usmar Ismail di tahun 1950-an. Film Usmar, Lewat Djam Malam (1954) masuk unggulan Festival Film Asia 1955 dan Tamu Agung (1955) meraih gelar Film Komedi Terbaik Festival Film Asia 1956. Pada awal 1990-an, Garin Nugroho membangun reputasi sebagai sineas yang mengharumkan nama Indonesia di berbagai festival film internasional.

Yang menjadi pertanyaan sesungguhnya, kenapa walau telah banyak catatan prestasi film Indonesia di ajang festival film internasional, kenapa kualitas film nasional umumnya jalan di tempat? Apa memang tak ada hubungan antara film yang maju ke ajang festival film dengan kualitas film komersil yang tayang di bioskop? Kenapa kita tak kunjung melahirkan banyak sineas yang mendunia seperti Iran atau Tiongkok? Dan terakhir, demikian sulitkah karya kita menembus sesi kompetisi utama Festival Film Cannes atau membawa pulang piala Oscar Film Berbahasa Asing Terbaik?

Baca Juga  Kapitalisme dalam Seri James Bond

Perlu diketahui, yang sering terjadi justru kesalah-kaprahan, filmmaker Indonesia bilang filmnya tayang di Festival Film Cannes dan media sini langsung heboh, beritanya ditulis seolah filmnya ikut dilombakan.

Padahal, tak seperti Festival Film Indonesia atau FFI, kata “festival film” di Cannes betulan bermakna pesta bagi perfilman. Ada beragam jenis kompetisi di Cannes. Yang utama tentu saja kompetisi utama dan pialanya Palme d’Or atau Palem Emas untuk film terbaik.

Nah, selain sesi lomba, ada ajang perfilman lain di Cannes yang tak ada hubungannya dengan lomba-lombaan. Namanya, Marche du Film atau bahasa Inggris-nya Film Market.

Sebagai pasar film, ajang ini mempertemukan pemilik dan distributor film dari seluruh dunia. Ajang ini dimulai sejak 1959 dan berlangsung berbarengan dengan Festival Film Cannes. Di Film Market ini pula terdapat tempat yang dinamai Village International yang isinya adalah paviliun negara-negara dari seluruh dunia yang menjajakan film mereka masing-masing.

Biasanya film Indonesia banyak dibawa ke Film Market, dijajakan ke pasar internasional, siapa tahu ada distributor luar negeri bersedia memutar film di negaranya.

Jadi, bila ada sineas atau produser film Indonesia bilang filmnya masuk Festival Film Cannes tanya lebih jelas lagi, masuk di sesi kompetisi yang mana atau cuma dijajakan di Film Market saja.

Fakta menariknya, meski tak pernah bawa pulang piala dari kompetisi utama Cannes, film-film komersil Indonesia justru menemukan jalan ke panggung dunia di Cannes lewat pasar film. Yang unik, film-film tersebut bukan jenis drama peraih penghargaan FFI, tapi film-film eksploitatif bergenre horor, silat dan laga yang umumnya berbumbu seks.

Dicatat Hikmat Darmawan (2016), mengutip Rosihan Anwar yang pernah melaporkan dari pasar film di Cannes tahun 1982, film Jaka Sembung jadi film Indonesia terlaris di Cannes, dibeli India, Pakistan, Belgia, Jerman Barat, Mexico, Belanda, Prancis, dan Spanyol dengan total nilai transaksi USD 67 ribu.

Well, itulah mungkin prestasi terbesar perfilman kita. Mau bagaimana lagi.

Artikel SebelumnyaCritical Eleven
Artikel BerikutnyaZiarah
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.