PROLOGUE:

Situasi yang semakin memburuk akibat COVID-19 tentu membuat kita semakin was-was. Saat ini mungkin separuh penduduk di dunia tengah berdiam diri di rumah untuk mencegah penyebaran yang lebih luas. Semua orang tentu dalam situasi tak nyaman. Seolah, kita saat ini tengah berada dalam cerita film yang biasa kita tonton. Siapa mengira, kita bisa mengalami hal yang lebih buruk daripada di cerita film, padahal kisahnya cuma rekaan. Untuk itu, kami mencoba untuk melakukan kilas-balik, film-film yang berhubungan dengan situasi yang sama, sebuah pandemi atau wabah yang meluas entah itu dalam skala kecil atau global. Kami telah mengawalinya melalui ulasan film Contagion beberapa minggu lalu. Siapa tahu, kita bisa tahu lebih atau sedikit, bagaimana sebuah wabah bisa meluas dan bisa mengantisipasi agar tidak menjadi lebih buruk. Selamat membaca dan menonton.

Seri Ulasan Film Wabah lainnya: The Cassandra CrossingContagionThe Happening –  World War Z Only The Flu

OUTBREAK   

Outbreak (1995)
127 min|Action, Drama, Thriller|10 Mar 1995
6.6Rating: 6.6 / 10 from 138,995 usersMetascore: 64
A team of Army doctors struggle to find a cure for the deadly Motaba virus that was transported from Africa to North America by a white-headed Capuchin monkey and is now spreading quickly throughout a small California town.

The single biggest threat to man’s continued dominance on the planet is the virus

Joshua Laderberg Ph.D, Peraih Nobel

Kutipan pada opening filmnya tentu membuat merinding jika kalian baru menonton film ini. Ini benar. Banyak hal yang ada di film ini, semua sungguh terjadi bahkan yang kita alami saat ini, rasanya lebih buruk. Outbreak (1995) adalah film aksi bencana arahan sineas gaek Wolfgang Petersen yang telah banyak menggarap film-film aksi berkelas, macam In the Line of Fire, Air Force One, Perfect Storm, Troy, serta film perang masterpiece-nya Das Boot. Outbreak dibintangi oleh Dustin Hoffman, Rene Russo, Morgan Freeman, Donald Sutherland, serta Cuba Gooding Jr. Sudah berapa puluh tahun yang lalu menonton film ini masih saja membekas hingga ketika baru lalu melihat untuk kedua kalinya ternyata saya banyak melewati beberapa pencapaian sinematik menarik dan relevan sekali dengan situasi terkini.

OPENING & THE LONG TAKE

Outbreak hingga kini adalah salah satu contoh genre bencana dengan struktur cerita yang solid, gamblang, dan sederhana. Filmnya dibuka dengan satu segmen kilas balik, satu desa di afrika yang terjangkit wabah maut. Adegan ini masih terlihat mengerikan untuk penonton sekarang. Latar cerita ini penting untuk pengembangan subplot nantinya. Yah, seperti film mainstream sejenis lazimnya, oknum militer AS mengembangkan virus ini untuk senjata biologis beserta intrik kewenangan lainnya. Bla bla bla.

Di luar dugaan, filmnya dibuka dengan teknik long take yang mengesankan. Bahkan sineas pun menggunakan teknik transisi “long take” yang dilakukan Hitchcock dalam The Rope (contoh terkini 1917) untuk memperpanjang durasi “long take-nya. Shot-nya dibuka dengan eksterior bangunan fasilitas riset dan penelitian penyakit menular yang kemudian di-cut dengan shot interior dalam ruangnya yang memulai long take-nya dari momen ini. Long take (1) yang berdurasi sekitar 2 menit ini secara mengesankan memperlihatkan ruang demi ruang lab. dari level 1 hingga 3. Penggunaan teks makin memperjelas tentang level ruang yang semakin berbahaya virusnya. Pergerakan kamera dan bloking pemain figuran, hingga tata cahaya diatur sedemikian rupa sehingga penonton dapat melihat dengan jelas aktivitas tiap ruang. Terakhir level 4, dengan menggunakan transisi cut di belakang seorang perwira yang masuk, long take (2) dimulai. Kita pun di bawa masuk ke ruangan yang tingkat sekuritinya jauh lebih ketat dari sebelumnya, masuk ke ruang kostum dan desinfektan, hingga mengakhiri shot-nya dengan menyajikan ruang lab di dalamnya. Really awesome.

THE PLOT & COVID-19 CASE

Baca Juga  All Quiet on the Western Front

Jagoan kita adalah Sam Daniels, anggota militer yang juga seorang ilmuwan spesialis penyakit menular. Sepanjang 80% alur filmnya, penonton mengikuti sosok ini. Seperti plot tipikalnya, ia pun punya masalah dengan mantan istrinya, Robby, yang tadinya juga bekerja bersama Sam, namun kini pindah ke CDC (Centers for Disease) di kota lain. Saya agak geli melihat film ini karena semua istilah teknis dan institusi medik, kita sudah sangat akrab. Obrolan teknis medik di film ini, kini kita bisa mengerti sungguhan.

Sam ditugaskan ke wilayah Afrika dan mendapati sebuah virus mematikan baru, yang kemudian dinamai Motaba. Seperti tipikal genrenya, jagoan kita menekan sang bos untuk menaikkan status genting. Sang bos pun berujar, tak mungkin virus itu bisa sampai ke AS. Kebetulan yang sangat kebetulan pun terjadi. Seekor monyet kecil Afrika (pembawa virusnya) dari tempat yang sama, ditangkap dan dibawa ke AS untuk dijual hingga sampai ke kota kecil bernama Cedar Creek, California. Masalah pun bermula di sini ketika toko penjual tercakar oleh sang monyet hingga terinfeksi dan menulari warga kota kecil ini. Dalam adegan berikutnya, para pasien pun berdatangan ke rumah sakit. Chaos. Seperti apa yang sering kita lihat di layar kaca saat ini.

Lock down kota pun dilakukan dan tak tanggung-tanggung dilakukan oleh militer. Melihat adegan ini saya agak heran. Mengapa ketika COVID-19 masih hanya terisolasi di satu lokasi saja di Washington, otoritas tidak melakukan hal yang sama. Kasusnya tentu jelas berbeda dong! Iya memang, namun melihat perkembangan kasus di AS sekarang (nomor satu di dunia – lebih dari 250.000 orang terinfeksi dan 7000-an orang tewas!), angka kematian ini jauh lebih besar dari filmnya dan mereka mestinya menanganinya lebih serius sejak awal. Ini sungguh gila. Outbreak sudah memberikan contoh protokol lapangan yang sangat baik untuk menangani situasi ini dengan sangat cepat. Jangan-jangan, seperti di film ini, ada pejabat militer edan yang sudah berpikir untuk membom semuanya. Ha ha. Mungkin sejak awal juga, negara kita pun mestinya sudah melakukan lock down country ala Outbreak ketika kasus masih nol. Ah entahlah. Saya hanya gemas saja melihat situasi sekarang, tak ada maksud menyudutkan siapa pun. Kasusnya tentu berbeda pada tiap wilayah.

Outbreak adalah satu contoh film bencana virus terbaik dan tipikal genrenya, plot tanpa henti, peralatan dan properti militer yang mapan, aksi seru menegangkan, sisipan humor, hingga permainan menawan para pemain bintangnya. Anehnya, ketika selesai menonton film ini, sama sekali tidak terasa sebagai film fiksi, namun sungguhan kini sudah terjadi. Outbreak bisa menjadi satu contoh kasus kecil bagaimana serangan virus bisa berdampak besar dalam waktu singkat. Kita bisa melihat warga yang frustasi dan panik, betapa lelah dan beresikonya para dokter dan perawat. Militer bahkan menembak warga yang memaksa keluar dari batas kota. Brutal! Tak ada siapa pun yang menginginkan situasi ini. Semua pihak termasuk kita sendiri harus lebih serius melihat ini atau korban bakal berjatuhan lebih banyak lagi. Saya menulis ini karena di sekitar saya pun, masih banyak orang yang tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang serius. Prihatin. Mungkin di mana-mana ini terjadi, tidak hanya di sini. Di awal film, seorang dukun lokal Afrika memberi peringatan tentang alam yang marah karena telah dirusak manusia. Kita tinggal pilih, kita yang menyeimbangkan alam, atau alam yang menyeimbangkan kita. Opsi kedua sudah terjadi.

Stay safe and healthy people!    

 

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaRetrospeksi Film Pendek Montase: The Photographer
Artikel BerikutnyaUncut Gems
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.