Only (2019)
98 min|Drama, Romance, Sci-Fi|06 Mar 2020
5.1Rating: 5.1 / 10 from 3,899 usersMetascore: 53
After a comet releases a mysterious virus that begins to kill all the women in the world, a young couple hides out in their over-sterilized apartment trying to fight for their lives.

Walau sudah debut di ajang festival sejak tahun lalu, namun Only baru rilis pada bulan Maret ini dan secara kebetulan pula temanya pun tak jauh-jauh dari situasi kita sekarang. Entah ini disengaja atau tidak. Only adalah film drama bencana arahan Takaschi Doscher dengan dibintangi oleh Freida Pinto dan Leslie Odom Jr. Premisnya memang tergolong segar untuk genrenya, tinggal eksekusi kisahnya seperti apa yang mau ditawarkan.

Seluruh penjuru bumi tiba-tiba mengalami hujan abu misterius yang ternyata berdampak besar bagi kehidupan manusia. Hujan abu tersebut ternyata membawa virus. Anehnya, hanya perempuan yang bisa terinfeksi virus mematikan ini. Dalam sekejap saja, kaum hawa di muka bumi ini di ambang kepunahan. Akisah Eva, sejak day 1 telah dijaga oleh sang pacar, Will, sehingga ia tetap bisa hidup. Selama berminggu-minggu karantina, Eva dan Will menyaksikan dunia yang lambat laun berubah dan tidak lagi bersahabat. Tak ada perempuan, bermakna umat manusia bisa punah sehingga pemerintah pun memaksa perempuan yang tersisa untuk diisolasi.

Premisnya jelas sangat menarik. Only mengingatkan banyak pada film fiksi ilmiah Children of Men, di mana manusia diambang kepunahan setelah virus misterius membuat manusia tidak lagi bisa memiliki anak. Plotnya yang rada mirip tentu membawa kita berpikir ke level subteks (simbolik). Children of Men memang mengarah ke sini dengan mengumpakan sang ibu dan bayinya sebagai sosok juru selamat. Only seolah mengarahkan kita ke arah yang sama, terlebih nama tokohnya saja “EVA”. Seolah ia bakal menjadi satu-satunya perempuan di muka bumi yang mampu memberikan jalan bagi kelangsungan eksistensi manusia. Ternyata asumsi ini terlalu jauh. Film ini tidak sekompleks dan sedalam yang diduga.

Baca Juga  Film tentang Wabah: The Flu

Premis yang menarik, diikuti pula oleh struktur kisahnya yang didominasi kilas balik. Melalui struktur plot ini, terlihat satu motif yang berkesan akan membawa kita ke sebuah kejutan besar. Lagi-lagi, saya salah besar. Premis dan struktur plot yang sudah demikian menarik tidak mampu memberikan eksekusi akhir yang subtil seperti yang dijanjikan premisnya. Lalu untuk apa pengorbanan dan penderitaan selama itu? Dalam satu momen, alur kisahnya tampak sekali memaksa dan tak logis. Coba bayangkan, jika perempuan tersisa hanya segelintir saja di muka bumi ini dan siapa pun bakal mendapat hadiah jutaan dollar bagi yang menemukan mereka. Jika ini adik, pacar, atau istrimu, sebaik apapun ia menyamar (laki-laki), akankah kamu membawanya masuk ke sebuah rumah makan yang dipenuhi laki-laki? Are you stupid or what?

Di awali premis menarik dengan struktur kilas-baliknya, Only ternyata tidak mampu menawarkan cerita maupun pesan yang menggugah. Sayang sekali, pembuat film tak mampu memaksimalkan naskah beride brilian ini. Jika hanya ingin bicara soal loyalitas, dedikasi, atau problem komunikasi, ini terlalu kerdil jika dibandingkan ide dan konsep besarnya. Selain Children of Men, Blindness adalah satu contoh yang brilian ketika wabah membuat seluruh umat manusia kehilangan indera penglihatan mereka, atau film bencana unik, The Happening, ketika alam memaksa umat manusia untuk mengakhiri hidup dengan segera. Film bagus akan mampu menyalurkan ide besarnya melalui konsep naskah dan visualnya sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan cara yang elegan.

Stay Healthy and safe!

Seri Ulasan Film Wabah lainnya: The Cassandra CrossingContagion –  World War ZOutbreakThe Flu The Happening

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaBanana Split
Artikel BerikutnyaHappy Old Year
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.