Society of the Snow (La Sociedad de Nueve) adalah survival drama produksi Spanyol yang diarahkan oleh sineas J.A Bayona. Nama Bayona tak asing dengan film-film karyanya, antara lain The Impossible (2012), A Monster Call (2016), hingga film blockbuster, Jurrasic World: Fallen Kingdom (2018). Naskahnya diadaptasi dari buku bertitel sama karya Pablo Vierci yang mengisahkan perjuangan hidup para penyintas kecelakaan pesawat terbang di pegunungan Andes. Film ini dibintangi sederetan bintang muda, antara lain Enzo Vogrincic, Matías Recalt, Agustín Pardella, Felipe González Otaño, serta belasan aktor lokal lainnya. Film ini juga diapresiasi tinggai dalam puluhan festival film bergengsi di seluruh dunia. Society of the Snow yang akhirnya dirilis Netflix awal bulan lalu ini meraih nominasi Piala Oscar untuk kategori Best International Feature Film dan make-up & tata rias rambut. Lantas seberapa istimewakah film ini?
Pada tahun 1972, satu rombongan tim rugby dari Uruguay berencana bermain di Santiago, Chili dengan menggunakan pesawat carteran bernomor 571. Di tengah perjalanan, cuaca buruk membuat mereka mengalami kecelakaan hebat hingga bagian ekor pesawat terbelah. Korban pun berjatuhan, sekalipun sebagian besar dari mereka selamat. Pesawat jatuh di lokasi pegunungan Andes yang sama sekali tidak bersahabat bagi manusia. Mereka harus bertahan hidup di tengah cuaca ekstrem serta terbatasnya sumber makanan, sambil menanti tim penyelamat yang tak kunjung tiba.
Film bertema kecelakaan pesawat dan survival sudah seringkali diproduksi, sebut saja yang populer, Cast Away, The Grey, Arctic, hingga The Mountain Between Us. Bahkan kisah yang sama juga pernah dibuat beberapa dekade lalu melalui Alive (1993) yang digarap oleh Frank Marshall. Belum lagi terhitung beberapa film dokumenter yang mengisahkan cerita luar biasa ini. Ending film jelas bukan menjadi tujuan utama, namun adalah proses bertahan dan perjuangan untuk hidup yang membedakan kisahnya. Di antara semua, bisa jadi Society of the Snow adalah yang paling mengenaskan karena menyajikan sisi realisme yang luar bisa otentik dari sisi mana pun. Para kastingnya yang kebanyakan aktor lokal pun bermain dengan sangat impresif walau memang tak ada yang menonjol.
Satu yang mengesankan tentunya adalah setting lokasi pegunungan dan interior pesawat di mana nyaris sebagian besar menggunakan set studio. Siapa pun tahu, tidak mungkin produksi dilakukan di lokasi sesungguhnya. Namun, efek visual yang demikian mengagumkan membuat segalanya terlihat otentik dan meyakinkan. Momen kecelakaan diperlihatkan begitu nyata dan mengerikan hingga membuat kita bergidik. Sang sineas tentu sudah sangat berpengalaman dengan semua ini melalui produksi film-film sebelumnya yang sarat CGI.
Satu aspek teknis lain yang menonjol adalah tata rias wajah. Tak mudah untuk menampilkan transisi wajah dengan demikian banyak karakter dalam berjalannya waktu dari momen ke momen. Walaupun satu hal sedikit mengganjal adalah beberapa karakter yang wajahnya masih terlihat mulus (tanpa kumis dan jenggot) dalam banyak momen. Apa mereka masih sempat berpikir untuk bercukur dalam situasi tersebut? Ini rasanya memang bukan masalah besar.
Society of the Snow adalah sebuah dokudrama yang realistik melalui setting dan permainan para kastingnya, serta sentuhan emas sineasnya. Filmnya mampu membawa kita masuk sungguh-sungguh ke dalam situasi yang sangat tak mengenakkan dari momen ke momen. Isu dan dilema moral yang menarik dibahas tentunya adalah kanibalisme yang disajikan dalam kisahnya. Apakah dalam situasi ekstrem tersebut memakan daging manusia yang juga rekan kita sendiri bisa ditolerir? Naskahnya mampu membawakan isu ini tanpa terlihat kontroversial dengan sentuhan yang sangat manusiawi. Society of the Snow adalah sebuah tontonan tak nyaman yang mampu memperlihatkan bahwa manusia memiliki daya tahan fisik dan mental di luar ekspektasi.