Anatomy of a Fall adalah film drama pengadilan yang diarahkan Justine Triet dan ditulis oleh sang sineas bersama Arthur Harari. Film produksi Prancis ini dibintangi oleh Sandra Hüller, Swann Arlaud, Milo Machado Graner, Antoine Reinartz, serta Samuel Theis. Seperti kita tahu, film berdurasi 152 menit ini telah meraih puluhan penghargaan di festival-festival film bergengsi, di antaranya Palme d’Or di Cannes Film Festival dan film berbahasa asing serta naskah terbaik di Golden Globe baru lalu. Film ini juga meraih 5 nominasi Piala Oscar di ajang Academy Awards tahun ini, termasuk film terbaik. Seberapa istimewakah film ini?

Seorang penulis novel, Sandra (Hüller) tinggal bersama suami, Samuel dan putranya yang tunanetra, Daniel (Graner) di area pegunungan terisolir di wilayah Gnobell, Perancis Selatan. Suatu hari, Sandra kedatangan tamu mahasiswi yang mewawancara soal buku tulisannya. Entah disengaja atau tidak, sang suami menyetel musik sangat keras hingga menganggu mereka. Sandra pun membatalkan wawancara dan sang tamu pun pergi. Tak lama, Daniel pun pergi bermain bersama anjingnya. Ketika pulang, Daniel mendapati sang ayah tergeletak tewas di pekarangan rumahnya yang bersalju. Dalam perkembangan, Sandra yang masih syok dengan peristiwa tersebut justru mendapati dirinya menjadi satu-satunya tersangka dari kematian misterius sang suami.

Dibuka dengan opening yang memikat sekaligus begitu mengganggu, Anatomy of a Fall spontan langsung memantik rasa penasaran demikian hebat. Kisah yang berdurasi 2,5 jam ini, tidak terasa panjang karena intensitas “ketegangan” yang begitu tinggi sepanjang kisahnya. Dua pertiga durasinya seolah berjalan tanpa henti memperlihatkan proses investigasi, berujung pada jalannya pengadilan yang amat panjang. Apakah Sandra membunuh suaminya sendiri? Pertanyaan ini terus bergulir di benak kita, ditambah petunjuk dan fakta baru yang semakin membuat rumit situasi. Rasa penasaran kita pun makin menjadi. Faktor ini menjadi kekuatan terbesar naskahnya yang begitu detil dan sabar mengungkap informasi dan fakta yang ada.

Di luar naskahnya yang solid, satu kekuatan terbesar film ini adalah penampilan impresif dari sang bintang, Sandra Hüller. Bermain dominan sepanjang film, sang aktris bermain memukau sebagai istri dan ibu, sekaligus “korban” dari masalah keluarga dan sistem peradilan yang memojokkan dirinya. Apakah di balik semua kenaifan Sandra terdapat sebuah kebohongan besar? Sang bintang dengan tampil penuh percaya diri mampu membuat penonton terus menebak-nebak di tengah situasi serba abu-abu yang sulit untuk kita antisipasi. Tak mudah bermain dalam peran yang secara konstan tertekan secara emosional, psikologis, serta fisik seperti ini. Hüller mampu membawakan semua ini dengan cara berkelas.

Baca Juga  Black Christmas

Naskah dan penampilan sang bintang menjadi pencapaian terbesar filmnya, namun diskusi tentang bagaimana sang suami tewas menjadi pertanyaan terbesar. Sepanjang kisahnya, jaksa penuntut berusaha mencari motif untuk menekan Sandra bahwa ia adalah pelakunya. Semuanya serba spekulatif dan kadang berlebihan. Bahkan tendensi isi novel tulisan Sandra pun menjadi topik yang diangkat. Ini mengingatkan betul pada film klasik 12 Angry Men di mana 12 orang juri melakukan investigasi dalam satu ruang tertutup. Bedanya, film klasik ini selalu mengacu pada fakta. Banyak hal terlihat mengganjal dalam Anatomy of a Fall dan banyak fakta yang tak terungkap. Daniel yang tunanetra berkesan menjadi kunci dari segalanya, namun rupanya tidak. Ini sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi lanjutan. Bisa jadi, sang sineas memang membiarkan kita untuk menafsirkan plotnya sendiri.

Anatomy of a Fall adalah sebuah drama pengadilan yang amat intense, didominasi penampilan kuat Sandra Hüller. Tak ada keraguan, film ini adalah salah satu yang terbaik di genrenya (drama pengadilan). Banyak topik yang disentil dalam plotnya, seperti trauma dan gangguan mental, LGBT, disabilitas, hingga keharmonisan rumah tangga. Anatomy of a Fall mampu merangkai semua poin-poin ini dengan gaya yang berkelas tanpa harus menguraikannya dengan gamblang. Bagi para penikmat film sejati, jangan lewatkan film istimewa ini sebelum turun layar di bioskop di kotamu.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel Sebelumnya#OOTD: Outfit of the Designer
Artikel BerikutnyaSociety of the Snow
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.