aftersun

Rekaman video yang kabur mencatat keping-keping percakapan antara anak dan ayah. Zoom inzoom out yang agak goyah, memulai sebuah pertanyaan—sekaligus mengakhirinya: “Apa itu?”, “Ketika kau berumur 11 tahun, apa yang kau lakukan?”. Dan jeda. Gambar tenggelam oleh nyaring suara, seketika gelap, seketika hitam. Dari kegelapan mengkilat segaris cahaya yang terbuka, ada kerumunan orang-orang menari. Namun masih belum tampak jelas, semuanya lewat dan melintas begitu saja.

Di tengah-tengah cahaya yang jatuh bangun, seorang wanita memejamkan kedua matanya—terpenjara dalam framing. Sepertinya ia menarik diri ke lembaran masa lalunya, menggapai ingatan yang lusuh bagai kertas terlepas dari kepalan tangan. Tetapi cuma satu yang dihinggapi. Di sana segalanya nyaris putih. Dan tampak seorang gadis kecil melambaikan tangan dengan wajah yang entah menyembunyikan tangisan—entah melawan senyuman.

Sebuah debut fitur yang bersih dari Charlotte Wells selaku sutradara dan penulis skenario. Lewat kolaborasinya dengan Paul Mescal dan si gadis cantik Frankie Corio, Aftersun arahannya memberi sentuhan yang informal—bukan  drama ayah-anak layaknya Fathers and Daughters atau The Pursuit of Happyness, yang memaksa penonton tuk berlinang air mata terus-menerus.

Dalam Aftersun, keakraban dan keberjarakan tersegmentasi lewat subjek-subjek yang tampil. Terkesan selalu ada jarak antara keduanya dan kita (para penonton) dari kaca jendela, televisi cembung juga kamera perekam. Namun di balik benda-benda yang menjadi semacam pantulan kisah, yang menahan kita untuk bisa lebih dekat, mereka—ayah dan anak itu mempunyai semesta kedekatannya sendiri.

Musim panas pertengahan, Sophie dan Calum, pasangan ayah-anak, pergi berlibur untuk menghabiskan waktu bersama ke sebuah kota di negara Turkey. Di sana, momen-momen acak mereka lakukan bersama tanpa banyak mengungkit apa yang pernah ada dan terjadi pada masa lampau. Shopie, gadis berumur 11 tahun itu, tak pernah menanyakan dengan spesifik kenapa ayahnya dan ibunya berpisah. Calum tak pula berkenan mengungkapkan. Ruang kedekatan mereka ternyata meletakkan sekatnya sendiri. Kerenggangan tercipta dari cerita yang tak terungkap. Sophie seperti tak mengenal utuh sosok ayahnya. Tapi tak perlu menjadi pusat keresahan. Karena titik perhatian mengarah pada relasi kedua karakter. Pada momen penghabisan mereka terhadap waktu.

Mungkin lebih dari satu jam durasi, kita akan melihat jelajah keduanya di kawasan wisata, kolam renang, kamar, dan tempat pemandian lokal Turkey. Peristiwa-peristiwa yang datang dan tergambarkan dalam kurung durasi tersebut—tentu akan kita anggap sebagai sebuah penawaran yang nihil. Pun kekosongan ruang yang begitu lama ditampilkan—melahirkan kebosanan.

Baca Juga  They Cloned Tyrone

Bahkan hal-hal yang sengaja ditinggalkan oleh Charlotte Wells di sana. Seperti penggalan-penggalan tegas karakter Calum yang mengidap depresi dan rasa cemas. Yang mana Calum tak menyangka Sophie akan beranjak dewasa, dan ia harus lebih awas akan hal yang terjadi pada waktu mendatang—akan terlihat tak memiliki motif yang krusial. Asumsi itu akan tumbuh bersama kita, akan mengekori kita.

Namun asumsi itu harus kita gugurkan sementara oleh kilasan adegan yang disusupi di tengah-tengah cerita. Kita patut curiga atas kehadiran salindia tersebut. Apa maksudnya? Dan apakah ada kesenjangan dalam cerita? Salindia tersebut, fragmen yang muncul secara kedipan mata itu—adalah jembatan antara momen-momen acak dan apa yang berusaha Charlotte Wells munculkan dalam Aftersun. Sebuah upaya mengais memori dari Sophie terhadap sosok ayahnya dan peristiwa yang mereka jalani bersama-sama.

Charlotte Wells mampu mengemas semua ini begitu artistik, terartikulasikan dengan kuat dan narasi yang sanggup tak berloncatan, kendati ada sejumput kilas-balik—ia menangkis interupsi tersebut. Sebuah debut fitur yang benar-benar mengagumkan. Aftersun adalah kesedihan yang berwibawa. Mengungkapkan kerinduan kepada ingatan yang tersangkut di jantung masa lalu—dan itu menghantuinya. Jalinan cerita yang awalnya cuman sebagai bukti dari kenangan yang memadat dalam diri Sophie dewasa—berhasil menyentuh sensibilitas yang paling sensitif dari diri kita. Walau film ini mempunyai beberapa catatan seperti: graphic match yang terlalu boros dan mudah ditebak kedatangannya, lalu latar Turkey yang cuman sebagai tempelan dan bukan eksplorasi kisah. Catatan tersebut tak melemahkan kisah ini ketika kita berlabuh di penghujung. Semua catatan itu lenyap—semua itu menjelma sebuah kelebihan dan karakteristik.

Pamungkasnya yang emosional, Calum menari bersama para turis lainnya dan mengajak Sophie bergabung. Iringan lagu Under Pressure dari Queen mewarnai tarian mereka. Lalu kilasan adegan itu muncul lagi, menyusup ke tengah-tengah tarian. Tampak seorang wanita, wanita yang sebelumnya memejamkan mata itu—Sophie dewasa. Ia melewati kerumunan, melihat ayahnya, Calum, menari-nari di antara cahaya yang jatuh bangun. Ia berteriak memanggilnya—tapi tiada terdengar, segalanya kedap, ia menariknya, memeluknya—dan menangis di pelukannya. Tapi seketika semuanya nyaris putih. Tak ada kelip-kelip lampu lagi. Tak ada kerumunan yang menari-nari. Hanya lambaian seorang gadis kecil, yang entah menyembunyikan tangisan—entah melawan senyuman. Dan jeda. Saya melihat momentum ending yang sangat apik: sebuah paralel penutup dari Krzystof Kieslowski dalam Three Colours Red, dan saya nikmati lagi dalam Aftersun. Indah, menakjubkan, luar biasa menarik emosi. Atmosfir kesedihan yang sulit dielakkan.

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaRun Sweetheart Run
Artikel BerikutnyaPerempuan Bergaun Merah
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

3 TANGGAPAN

  1. Tulisannya terasa seperti terjemahan google translate. Berikut contoh kalimat yang susah saya pahami maknanya:
    “Dari kegelapan mengkilat segaris cahaya yang terbuka …”
    “Di tengah-tengah cahaya yang jatuh bangun …”

    Mohon Editor lebih teliti lagi. terima kasih

    • Terima kasih atas komentarnya.

      Setiap penulis masing-masing memiliki gaya penulisannya, dan gaya penulis artikel ini sedikit berbeda dengan gaya penulis Montase lainnya. Penulis memiliki latar belakang keilmuan sastra kuat yang tentu memengaruhi gaya penulisan. Sejauh yang kami pahami, kami sangat bisa menerima dan memahami tulisan-tulisan di atas dan tidak ada masalah dalam konteks kalimat yang berdasar dari visualisasi adegan filmnya. Demikian komentar kami dan terima kasih atas masukannya.

  2. terima kasih untuk kilas baliknya yang sangat membantu saya dalam mencerna apa maksud dari film ini, gaya penulisan dan setiap kata yang digunakan begitu menggambarkan kalau orang yang menjadi penulis untuk laman ini memiliki latar belakang yang menarik, tetap semangat dan pastinya saya akan menunggu review selanjutnya dari laman ini

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.