PROLOGUE:

Situasi yang semakin memburuk akibat COVID-19 tentu membuat kita semakin was-was. Saat ini mungkin separuh penduduk di dunia tengah berdiam diri di rumah untuk mencegah penyebaran yang lebih luas. Semua orang tentu dalam situasi tak nyaman. Seolah, kita saat ini tengah berada dalam cerita film yang biasa kita tonton. Siapa mengira, kita bisa mengalami hal yang lebih buruk daripada di cerita film, padahal kisahnya cuma rekaan. Untuk itu, kami mencoba untuk melakukan kilas-balik, film-film yang berhubungan dengan situasi yang sama, sebuah pandemi atau wabah yang meluas entah itu dalam skala kecil atau global. Kami telah mengawalinya melalui ulasan film Contagion. Siapa tahu, kita bisa tahu lebih atau sedikit, bagaimana sebuah wabah bisa meluas dan bisa mengantisipasi agar tidak menjadi lebih buruk. Selamat membaca dan menonton.

Seri Ulasan Film Wabah lainnya: The Cassandra CrossingOutbreak – Contagion –  World War Z Only The Happening

The Flu

Flu (2013)
122 min|Action, Crime, Drama|15 Aug 2013
6.6Rating: 6.6 / 10 from 14,899 usersMetascore: 40
Chaos ensues when a lethal, airborne virus infects the population of a South Korean city less than 20 kilometers from Seoul.

Mewakili film Asia untuk film bertema wabah, walau tak sebaik yang dibayangkan, namun The Flu boleh diapresiasi karena ambisi besarnya. The Flu (2013) digarap dan ditulis naskahnya oleh Kim Sung-su yang dirilis 6 tahun lalu. Popularitas film ini, kini semakin meningkat mengingat situasi yang sama terjadi kini, walau COVID-19 tak seburuk virus di filmnya. Film ini dibintangi 2 pemain besar, yakni Soo Ae, Jang Hyuk, serta bintang cilik Park Min-ha. Kita tahu, film Korea Selatan kini telah maju demikian pesat, baik secara kuantitas maupun kualitas, nah lantas bagaimana posisi The Flu?

Filmnya berkisah tentang wabah flu yang melanda kota Bundang yang berpenduduk nyaris 500.000 orang yang hanya berjarak 14 km dari Seoul. Dua tokoh utama kita adalah dokter Kim (Soo Ae) dan Kang (Jang Hyuk), seorang petugas Emergency Response Team (ERT) yang dipertemukan oleh satu kejadian kecelakaan mobil yang menimpa sang dokter. Di lain tempat, dua orang kakak beradik Ju menyelundupkan puluhan imigran ilegal dalam sebuah kontainer. Tanpa diduga, semua imigran dalam kontainer tersebut tewas, menyisakan seorang bocah yang berhasil lari ke kota. Mereka tak menyadari bahwa para imigran tewas karena virus mematikan. Tak berselang lama, sang adik pun mengalami gejala sakit, dibawa ke rumah sakit dan tewas. Bencana pun di mulai ketika warga yang tertular dan memiliki gejala berdatangan ke RS. Beberapa jam kemudian kota Bundang pun di-lock down dan semua warga kota dikarantina.

Baca Juga  Space Sweepers

Plot utama filmnya bersentral pada dua sosok utama, Dr. Kim dan Kang. Walau berpindah dari satu kejadian ke kejadian lain, namun kisahnya tetap mudah untuk diikuti. Subplot lain adalah sumber dari mana virus ini berawal dan ini bersinggungan dengan sosok sang bocah yang ternyata memiliki antivirus dalam tubuhnya. Kisahnya yang demikian baik dibangun di awal, mendadak menjadi chaos ketika satu kota Bundang di-lock down agar tidak menyebar wilayah lainnya. Di momen ini pula, logika plot dan kejanggalan yang memaksa mulai tampak. Kejadian ini hanya berselang beberapa jam saja. Coba bayangkan, bagaimana mungkin pihak militer mampu me-lock down sekaligus mempersiapkan semua fasilitas untuk karantina lebih dari 400.000 orang dengan secepat itu! Lantas sebelum lock down, apa ada jaminan orang yang terinfeksi sudah pergi ke luar wilayah Bundang. Apa otoritas yakin jika virus sudah terkontrol dan hanya ada di kota ini? Ya tentu tidak. Semua serba terlalu berlebihan dan tak masuk akal! Adegan klimaks pun demikian. Jika misinya untuk membuat emosi penonton tersentuh dengan sisi dramatiknya, sang sineas jelas berhasil. Jika tak masuk akal dan terlalu memaksa, apalah artinya?

Ambisius, kolosal, dramatik, dan penuh ketegangan, namun The Flu tak mampu mengangkat potensi naskahnya yang tidak mengindahkan logika di separuh akhir filmnya. Apresiasi patut dilayangkan para pembuat film karena tak mudah membuat film berskala kolosal macam ini. Adegan ratusan orang yang panik di supermarket hingga di jalanan kota mampu disajikan dengan sangat baik. Walau tak bisa dibilang berkualitas seperti film bencana lainnya, Ashfall, namun film ini telah membuktikan industri film Korea Selatan berada di jalur yang benar, sejak 6 tahun lalu.

Stay safe and healthy!

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaHappy Old Year
Artikel BerikutnyaThe Rhythm Section
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.