The Rhythm Section (2020)
109 min|Action, Drama, Mystery|31 Jan 2020
5.4Rating: 5.4 / 10 from 19,858 usersMetascore: 45
A woman seeks revenge against those who orchestrated a plane crash that killed her family.

The Rhythm Section adalah film thriller spionase garapan Reed Morano yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Mark Burnell. Burnell pula yang menulis naskah film ini. Hal mengejutkan adalah produser film ini adalah duo, Barbara Broccoli dan Michael G. Wilson yang telah kita kenal melalui seri ikonik, James Bond. Film berbujet USD 50 juta ini dibintangi oleh Blake Lively, Jude Law, serta Sterling K. Brown. Seperti sudah diduga filmnya memang tak jauh dari genre spionase hanya saja, kini kisahnya sedikit unik.

Alkisah Stephanie (Lively) harus kehilangan seluruh keluarganya karena pesawat yang mereka tumpangi dibom teroris. Stephanie depresi berat dan hidupnya hancur hingga seorang jurnalis datang kepadanya memberi informasi jika sosok teroris yang menjadi dalang hingga kini masih bebas berkeliaran di Kota London. Steph yang penuh amarah mencoba membunuh sang teroris. Dalam perkembangan, Steph tanpa ia sadari terjebak dalam situasi pelik di tengah intrik spionase dengan beragam kepentingan.

Sejak lama, saya menginginkan sebuah film yang mengisahkan latar belakang sosok James Bond. Apa yang membuat sosok Bond menjadi seorang James Bond? Adakah trauma, penyesalan, atau amarah yang membuatnya bisa menjadi agen tangguh ber-“tangan dingin” seperti yang kita kenal. Casino Royale adalah sebuah reboot, dan ini bukan yang saya cari. The Rhythm Section adalah jawabnya, meskipun sosoknya perempuan. Konsep dan ide “The Origin of Bond” ada di sini. Ini mungkin adalah alasan mengapa Broccoli dan Wilson memproduseri film ini.

Di awali dengan segmen yang tak nyaman dan membuat kita frustasi, jujur saja, arah filmnya sulit untuk ditebak. Berjalannya waktu, kisahnya mulai jelas dan gamblang. Sedikit intrik, tidak membuat otak kita banyak berpikir karena film ini bukan berkisah tentang politik, namun proses seseorang yang rapuh menjadi sosok berkepribadian kuat dan percaya diri. Sang bintang bermain sangat menawan, dan Blake Lively adalah pilihan kasting yang tepat. Kebimbangan, keraguan, dan ketakutan nyaris tak pernah lepas dari wajahnya. Kita pun seolah bisa merasakan keraguan ini dan ini yang membuat karakternya tidak bisa kita prediksi. Jika kita menggunakan perspektif “Origin of Bond”, alur kisahnya adalah sebuah pengalaman segar yang sangat menegangkan.

Baca Juga  Sicario: Day of the Soldado

Satu hal yang membuat sedikit tak nyaman adalah pilihan estetiknya. Seri Bourne pun menggunakan gaya estetik “shaky camera” sama, namun film ini penyajiannya kadang kelewat kasar, baik kamera maupun editing. Jika menonton di bioskop, bisa jadi perut saya sudah mual. Warna gambarnya pun pucat. Motifnya bisa saya terima jika memang ingin menggambarkan status mental sang protagonis serta dunia yang serba tak pasti dan penuh resiko di sekitar Stephanie. Satu adegan aksi kejar mengejar menegangkan yang sangat intens patut dicatat pada durasi separuh cerita.

Dengan gayanya dan ide yang segar, The Rhythm Section adalah kisah ideal yang mendekati “The Origin of James Bond”. Sayang, mengapa Broccoli dan Wilson tak sekalian membuat prekuel Bond dengan kisah sejenis. Film ini memang sama sekali tak buruk, namun bakal mendapat komparasi hebat dari banyak film agen spionase sejenisnya, satu contoh saja yang mendekati adalah Le Famme Nikita. Bahkan gaya rambut Stephanie saja nyaris mirip. Walau kisahnya sedikit lepas dan membingungkan di bagian awal, The Rhythm Section rasanya bisa memuaskan penikmat genre spionase.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaFilm tentang Wabah: The Flu
Artikel BerikutnyaMy Spy
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.