How to Make Millions Before Grandma Dies

Awalnya saya merasa bangga ketika berhasil tidak menitikkan air mata saat adegan-adegan melankolis dalam film How to Make Millions Before Grandma Dies (Lahn Mah) berlangsung. Saya perhatikan beberapa penonton telah mengeluarkan tisu sejak di paruh kedua film. Namun pertahanan saya mulai runtuh ketika film memasuki bagian penutup dan semakin menyesakkan beberapa saat setelah film berakhir. Saya pun pulang dengan berkaca-kaca. Perasaan ini pernah saya alami ketika menyaksikan film I Never Cry di ajang Europe on Screen yang saat itu diselenggarakan secara daring. Baru saat menjelang film berakhir, terjadi luapan emosi. Dan, emosi itu bertahan usai film berakhir.

How to Make Millions Before Grandma Dies tidak mengeksploitasi air mata penonton dengan memberikan adegan-adegan sentimentil yang umum dijumpai di film drama. Ia lebih banyak bercerita tentang hubungan cucu dan neneknya, sesuatu yang umum dijumpai di masyarakat.

Film yang disutradarai oleh Pat Boonnitipat ini berkisah tentang M (Putthipong Assaratanakul) yang memutuskan untuk tinggal dan mengasuh neneknya (Usha Seamkhum) setelah sang nenek alias Amah divonis mengidap kanker usus stadium empat. Ia sebenarnya termotivasi oleh nasib baik yang dialami Mui (Tontawan Tantivejakul), sepupunya. Si sepupu mendadak kaya raya setelah mendapatkan warisan dari kakeknya berupa mansion karena ia yang merawatnya hingga sang kakek meninggal dunia. Upaya M menjalin kedekatan dengan Amah terbilang sulit karena sang Amah terbilang hidup sendiri. Selain itu harapan M untuk menjadi orang nomor satu sang Amah tidak mudah, karena Amah memiliki tiga anak, yang di antaranya juga memiliki niat tersembunyi seperti M.

Selama dua jam enam menit, penonton diajak menyelami tradisi keluarga Cina di Thailand yang juga mirip dengan yang ditemui di Indonesia. Di awal film nampak M bersama keluarga besarnya melakukan sembahyang qingming atau yang dikenal dengan cheng beng di Indonesia. Mereka berkumpul, membersihkan makam leluhur, dan berdoa. Ya, dari segi tradisi dan setting lokasi, mirip dengan yang ada di Indonesia. Andaikata tidak ada kuil dan patung-patung Dewa yang tinggi besar, mungkin saya mengira film ini ada di salah satu tempat di Indonesia.

Baca Juga  The Swordsman

Amah adalah nenek yang biasa kita temui di dunia nyata. Ia hidup sederhana, mandiri, dan tidak mau merepotkan keluarga anak-anaknya. Ia selalu bangun pagi dan berjualan makanan. Rumahnya mungkin rumah tua berlantai dua yang sempit, penuh dengan barang-barang, terletak di gang sempit, dan dekat dengan stasiun kereta api.

Sosok nenek ini kontras dengan M yang merupakan penggambaran remaja masa kini. Ia gemar bermain gim dan ingin mendapatkan uang sebagai pemandu gim. Ia juga hampir selalu menggunakan gawai dan mudah kesal dengan sikap nenek yang dianggapnya kolot. Karakter keduanya yang kontras dan nampak tidak akur di awal film inilah yang membuat cerita menarik. Pemeran sang nenek diperankan aktris senior Thailand dengan luwes. Sedangkan Putthipong Assaratanakul yang akrab disapa Billkin adalah aktor muda Thailand yang sedang naik daun. Ia bisa mengimbangi akting Usha Seamkhum dengan porsi yang pas. Keduanya berhasil memberikan nyawa dalam film ini.

Selain akting dan jajaran pemainnya yang cemerlang, naskah cerita film ini digarap dengan baik oleh Pat Boonnitipat dan Thodsapon Thiptinnakorn. Keduanya cerdik memasukkan isu seperti sistem patriarki, harga tanah makam yang mahal, antrian pasien rumah sakit, hingga pekerjaan yang digemari anak-anak muda dengan luwes, tanpa terkesan menggurui. Gambar-gambar yang diambil dan tone warna dalam film juga enak di mata. Pengambilan gambarnya variatif dengan ada kesinambungan antara bagian awal hingga menuju akhir.

Mungkin karena tradisi dan isunya yang mirip dengan yang dijumpai di tanah air, demikian juga dengan hubungan nenek dan cucunya, maka film ini terasa akrab dengan penonton di sini. Alhasil berbagai studio bioskop penuh oleh penonton, sehingga jumlah show dan layarnya pun bertambah.

PENILAIAN KAMI
overall
80 %
Artikel SebelumnyaIF
Artikel BerikutnyaThe Last Stop in Yuma County
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.