IF

IF adalah film fantasi komedi yang digarap oleh John Krasinski yang kita tahu mengarahkan dua film sci-fi horor sukses, A Quiet Place. Sang sineas sendiri selain bermain, juga bertindak sebagai penulis naskah dan produsernya. Bermain dalam film ini antara lain, Ryan Reynolds, Cailey Fleming, dan Fiona Shaw, serta diisi suara oleh beberapa bintang ternama, sebut saja Steve Carell, Phoebe Waller-Bridge, Louise Gosset Jr., Emely Blunt, Matt Damon, Awkwafina, Blake Lively, hingga George Clooney. Melalui sentuhan sineas dan para kasting besarnya, apakah IF mampu memberikan sesuatu yang istimewa?

Gadis cilik bernama Bea (Fleming) menghadapi tantangan berat sejak ibunya meninggal dan ayahnya (Krasinski) didiagnosa sakit keras sehingga ia harus tinggal bersama sang nenek (Shaw). Bea rupanya memiliki kemampuan unik yang mampu melihat sosok IF (imaginary friends) orang lain. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Cal (Reynolds) yang juga memiliki kemampuan yang sama. Cal memiliki kelompok beranggotakan para IF yang telah dilupakan anak-anak “pencipta” mereka karena telah dewasa. Bersama Bea, Cal pun dibantu untuk mengembalikan para IF untuk bisa bertemu kembali dengan “pemilik”nya yang rupanya selama ini membawa kekosongan pada jiwa mereka.

Jujur, konsep kisahnya terasa absurd karena saya sendiri tidak memahami betul teman imajinasi. Ya, tentu saja kita tahu apa itu IF karena tidak sedikit film-film yang menawarkan kisah macam ini, contoh yang baru saja rilis adalah film horor Imaginary. Yang tidak bisa dipahami adalah karena saya sendiri tidak pernah memiliki IF karena masa kecil yang memiliki banyak teman bermain. Saya jelas bukan ahlinya dan tentu tidak mampu menjawab, apakah memiliki IF adalah semacam gangguan mental seorang anak akibat trauma atau lainnya. Kisah filmnya sendiri mengarah ke arah ini, sekalipun ada pernyataan bahwa setiap anak pasti memilikinya. Bisa jadi ini adalah kasus jamak di AS.

Dalam perkembangan kisahnya, IF digambarkan sebagai semacam trauma atau ingatan masa lalu yang membekas yang dianggap sebagai bagian hidup yang hilang dari seseorang (dewasa). Bisa jadi ini hanya simbolik, bagaimana pun keluarga atau masa kecil tidak bisa lepas dari kehidupan kita sekarang. Namun bagi saya, konsep ini terasa absurd dalam penggambaran kisah di filmnya. Kita tahu betul problem mental yang dihadapi Bea sekarang (kehilangan orang tua), namun apa relasi Bea kini dengan Bea sewaktu kecil? Berapa jarak umur Bea dulu dengan sekarang? Tidak terasa ada gap waktu yang signifikan. Ini yang menyebabkan saya tidak merasakan ikatan batin yang kuat dengan karakter ini. Demikian pula antara Bea dengan para IF.  Mungkin akan berbeda jika sosok Bea telah dewasa. Dalam film ini tidak dikisahkan Bea berinteraksi dengan anak-anak seumurnya (kecuali satu pasien di RS), dan mengapa pula ia tidak diperlihatkan bersekolah, misalnya? Mungkin saya melewatkan sesuatu.

Baca Juga  Brut Force

Ending-nya juga mudah terantisipasi dan kita semua tahu bagaimana semua ini bakal terakhir. Naskahnya memilih jalan aman dengan tidak berani mengambil resiko. Secara personal, saya ingin sekali tersentuh dengan adegan klimaksnya, namun apa daya tak mampu. Poin kisahnya sesungguhnya senada dengan film horor masterpiece karya M. Night Shyamalan yang tidak berani saya sebut titelnya di sini karena punya potensi spoiler. Semua orang pastilah memiliki “misi” yang belum tuntas dalam hidupnya. Alih-alih IF, namun pemicunya adalah roh gentayangan. Kisah senada juga kita lihat melalui Slumberland (2022) yang memiliki pesan sama dengan kemasan fantasi yang lebih abstrak.

IF adalah drama fantasi yang konsepnya terasa absurd untuk target genrenya sekalipun pencapaian visualnya mengagumkan. Kombinasi CGI dan live-action adalah bukan hal baru, namun IF mampu menyajikannya dengan mengesankan. Efek visual jelas sangat mendukung kisahnya yang memang membaurkan realita dengan imajinasi. Kasting besarnya pun juga terasa sebagai penarik penonton ketimbang bermain peran. Sebagai penutup, kisah IF rasanya lebih pas untuk ditonton orang dewasa ketimbang anak-anak. Anak-anak bakal sulit untuk memahami bahwa sesungguhnya para sosok-sosok IF yang lucu dan unik tersebut adalah refleksi dari imajinasi mereka sendiri. Selama ini penggambaran teman imajinasi kebanyakan dikisahkan dalam genre horor. Tradisi dan kepercayaan budaya timur pun lebih mengarah ke sini. Ini mengapa, IF bakal lebih pas menjadi tontonan di barat sana.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
60 %
Artikel SebelumnyaKingdom of the Planet of the Apes
Artikel BerikutnyaHow to Make Millions Before Grandma Dies
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.