Hirokazu Kore-eda berhasil menyentuh hati penonton lewat karya-karyanya seperti Like Father, Like Son (2013), Shoplifters (2018), dan Broker (2022). Film-film tersebut juga mendapat apresiasi dari para pengamat film dan meraup berbagai penghargaan bergengsi. Oleh karenanya ketika film teranyarnya, Monster, dirilis, para sinefill pun menantikannya. Seperti apakah film Monster tersebut?

Monster berfokus pada seorang anak laki-laki bernama Minato (Sōya Kurokawa). Suatu ketika ibunya, Saori (Sakura Andō), mendapati putranya mulai berkelakuan aneh. Ia mengulik tentang ayahnya yang telah meninggal, mengeluh otaknya telah berubah menjadi otak babi, dan kemudian memotong rambutnya. Suatu ketika Minato tidak kunjung pulang. Saori yang cemas menemukannya di terowongan kereta yang sudah terbengkalai.

Saori curiga ada sesuatu di sekolah yang mengubah putranya. Ia kemudian mencurigai guru anaknya, Hori (Eita Nagayama) melakukan tindakan buruk ke putranya. Namun pihak sekolah dengan kepala sekolah (Humiaki Shoda) nampak dingin dan kurang memedulikan laporannya.  Hingga Hori menyebut nama Yori (Hinata Hiiragi) yang diduga kerap dirundung oleh Minato.

Dalam Monster, sutradara berusia 61 tahun ini bertindak sebagai sutradara, editor, dan produser eksekutif. Kali ini ia absen sebagai penulis yang naskahnya dibidani oleh Yuji Sakamoto yang pernah menggarap naskah We Made a Beautiful Bouquet (2021). Sang sutradara juga kembali bekerja sama dengan Sakura Andō. Andō sebelumnya turut andil dalam Shoplifters. Sedangkan untuk ilustrasi musik ia mempercayakannya ke komposer peraih Oscar, Ryuichi Sakamoto. Film ini merupakan skoring terakhirnya. Ia meninggal pada 28 Maret 2023.

Film ini banyak menarik perhatian karena masuk nominasi Palme d’Or di ajang Cannes Film Festival 2023 dan berhasil menang di dua kategori lainnya, yakni Best Screenplay dan Queer Palm. Sebelum tayang reguler di bioskop, film ini tayang terbatas di Jakarta World Cinema Week dan Jogja-Netpac Asian Film Festival pada bulan November 2023 lalu. Film ini mendapat sambutan meriah dengan tiket yang soldout pada dua gelaran festival tersebut.

Sebenarnya cerita Monster bukan sesuatu yang baru. Film ini memiliki tema dan cerita yang mirip dengan Close, film Belgia yang dirilis tahun 2022, yang juga menceritakan persahabatan dua anak laki-laki yang begitu lekat sehingga mendapat tekanan dan rundungan dari teman-teman sekelasnya.

Yang membuat film Monster menarik dan unik adalah gaya penceritaannya yang menggunakan tiga sudut pandang. Satu rangkaian peristiwa diceritakan berulang dari sisi Saori, Hori, dan Minato. Gaya bercerita dari berbagai sudut pandang ini juga pernah digunakan oleh film Jepang klasik karya Akira Kurosawa, Rashomon (1950) dan contoh modernnya adalah Vantage Point (2008).

Baca Juga  Bad Genius

Cara bertutur seperti ini rupanya masih manjur menghasilkan tontonan yang menarik. Penonton seolah-olah mengarahkan teropong ke berbagai sudut dan mengatur zoom lensa untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari sebuah peristiwa. Satu peristiwa bisa memiliki makna yang berbeda bergantung pada karakter yang menyikapinya. Prasangka kemudian dibenturkan dengan kenyataan.

Penanda dimulainya sudut pandang yang berbeda adalah peristiwa kebakaran di sebuah gedung. Tiga cerita sama-sama berawal dari peristiwa kebakaran gedung tersebut. Ada persilangan takdir antar tokoh di beberapa peristiwa sebelum ke peristiwa puncak.

Setiap karakter dalam film ini memiliki latar belakang yang menarik dan beberapa di antaranya nampak misterius, sehingga penonton dibiarkan menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Ada berbagai pertanyaan yang kemudian menyeruak selama menonton, apa yang dimaksud dengan otak babi yang kerap disebut-sebut Yori dan Minato, ada apa dengan kepala sekolah, dan monster seperti apa yang dimaksud dalam film ini.

Meski gaya bertutur Yuji di sini menarik, namun ada sentuhan sang sutradara yang terasa kurang jika dibandingkan film-filmnya terdahulu. Unsur tersebut adalah emosi dan kejutan dalam film.

Jika menilik film-film Hirokazu Kore-eda sebelumnya, ia kerap membidik anak-anak dan permasalahan keluarga. Film Monster ini juga mengangkat anak-anak dan keluarga disfungsional, hanya unsur emosionalnya terasa kurang jika dibandingkan Shoplifters dan Broker meski sudah dibantu oleh skoring yang dramatis. Bagian yang emosional di film ini umumnya hanya bagian-bagian yang melibatkan Yori sebagai sosok yang menggemaskan dan berpotensi mengundang simpati penonton.

Dari unsur kejutan sendiri, memang penuturan dengan multiperspektif ini bisa memberikan suatu pengalaman tersendiri selama proses menonton. Namun selama menonton, penulis teringat dengan Close (2022) dan The Hunt (2012) di mana film terakhir berkisah tentang guru yang dirundung karena prasangka buruk. Alhasil penulis mau tak mau jadi membandingkan dengan kedua film tersebut dan unsur kejutannya dalam film jadi berkurang.

Meski demikian film Monster merupakan film Hirokazu Kore-eda yang masih mampu memikat dan menyentuh hati penonton. Apalagi penutupnya juga multi penafsiran sehingga membuka ruang bagi para penonton untuk berdiskusi seusai menonton.

PENILAIAN KAMI
Overall
73 %
Artikel SebelumnyaAncika: Dia yang Bersamaku 1995
Artikel BerikutnyaLift
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.