Ide film ini awalnya berawal dari rekan-rekan yang ingin memproduksi film omnibus yang berlatar di Taman Sari, wilayah Keraton, Kota Yogyakarta. Sebelumnya kami memang sudah memproduksi beberapa film pendek, seperti Labirin (2014) serta The Voices (2014) yang juga diproduksi di lokasi yang sama. Ide awalnya memang tidak 100% serius, just having fun, that all, karena produksinya hanya menggunakan alat seadanya yang kami punya. Ternyata film-film tersebut berujung juga kami kirim ke festival, dan bahkan Labirin meraih penghargaan di salah satu festival lokal. Konsep awalnya, memang semua plot film-film ini terjadi di waktu yang bersamaan. Dalam Voices, karakter protagonis dalam The Photographer muncul sekilas sebagai cameo. Ada dua film lagi yang sebenarnya akan dan bahkan sudah diproduksi, namun gagal di tengah jalan.

Ide The Photographer sederhana saja. Beberapa rekan kami, sangat mengagumi film Blow-Up karya masterpiece sineas Italia, Michelangelo Antonioni. Akhirnya, kami pun mengadaptasi film tersebut di film pendek kami. Inti kisahnya sama, hanya saja kami ringkas menjadi seperti apa yang kalian lihat sekarang. Kesulitan paling utama adalah mencari lokasi yang sesuai untuk adegan pembunuhan. Jika kalian sudah menonton film Blow-Up kalian pasti akan paham. Berbeda dengan di film aslinya, di lokasi wisata Taman Sari adalah lokasi yang ramai pengunjung, kami pun harus mencari waktu dan lokasi yang benar-benar relatif sepi. Akhirnya memang bisa kami temukan. Satu hal lagi yang paling sulit adalah melakukan adegan pembunuhan tersebut dari jarak yang cukup jauh (-/+150 meter) sehingga kami harus berkomunikasi intensif via handphone. Kami lakukan adegan ini berulang-ulang hingga gambarnya mampu di-zoom in seperti yang diinginkan. Satu lagi masalah kecil, kami juga harus kucing-kucingan dengan penjaga kemanan lokasi tersebut karena kami memang lewat jalan belakang lokasi wisata ini yang sudah biasa dilakukan pengunjung asal Jogja.

Baca Juga  Penggunaan Special Effect di Era Awal Sinema Indonesia

Beruntung kami memiliki rekan fotografer yang sebelumnya pernah produksi dengan kami. Mas Tono, begitu panggilan kami. Ketika kami utarakan ide ini, ia pun sangat bersemangat. Untuk agar lebih bebas, kami pun membiarkan Mas Tono beraksi memotret seperti biasanya ia memotret. Hah, cuma begitu saja, tanpa bawa tas, lensa, atau lainnya. Iya jawabnya, tas serta laptop memang dalam kisahnya pun dititipkan dalam sebuah kafe yang juga kami gunakan untuk lokasi syutingnya. Sementara dua pemain lainnya, adalah dua rekan mahasiswa yang masih rekan member kami di kampus. Not perfect, cuma untuk film ini sepertinya cukup. Tak banyak masalah dengan kastingnya. Foto-foto yang diambil dalam filmnya pun memang sama yang diambil oleh Mas Tono pada saat syuting.

Setelah selesai pun, di luar dugaan, filmnya seperti apa yang kami bayangkan. Tentu saja, tak sempurna dalam banyak hal, terutama gambar karena kami memang tidak menyewa alat apa pun. Hasilnya, bagi kami sungguh sangat istimewa. Setidaknya kami puas, mampu membuat versi Blow-Up milik kami sendiri. Film ini pun, sayangnya tak banyak kami kirim ke festival. Sedikit prestasi hanyalah masuk nominasi di festival film lokal serta beberapa kali official selection di festival film internasional, yang itu pun tidak kami sangka. Setidaknya ada festival yang mengapresiasi film kami. Ini sudah cukup bagi kami. Silahkan menikmati filmnya!

1
2
Artikel SebelumnyaFilm tentang Wabah: World War Z
Artikel BerikutnyaFilm tentang Wabah: Outbreak
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.