Perkembangan teknologi efek khusus di era kini, sungguh sangat pesat dan menakjubkan. Efek khusus tersebut dibentuk dengan teknologi komputer yang sering diistilahkan CGI (Computer Generated Imagenary). Visualisasi penggunaan CGI memungkinkan para sineas untuk mengeksplorasi sisi naratif maupun sinematik di berbagai genre film yang sarat dengan efek visual, seperti aksi, epik sejarah, fantasi, petualangan, fiksi ilmiah, superhero, horor, dan bencana. Namun, jauh sebelum teknologi CGI ditemukan, teknologi efek khusus atau biasa disebut dengan special effect telah digunakan sejak era early cinema, walaupun masih sangat sederhana. Salah satu sutradara pada era early cinema yang bereksplorasi dengan efek khusus adalah George Melies. Sutradara asal Eropa ini membuat ratusan film pendek pada tahun 1896-1913 yang penuh trik dan efek khusus. Kemampuannya sebagai pesulap mampu ia gunakan untuk membuat efek khusus sederhana. Salah satu karya masterpiecenya yang kental dengan efek khusus berjudul A Trip to the Moon (1902).

Bagaimana dengan sinema kita? Tentu saja, sinema kita masih jauh dari penggunaan teknologi CGI yang mapan seperti sinema Hollywood. Namun, ada salah satu fenomena yang menarik di awal sinema kita sedang berkembang, tepatnya era sebelum kemerdekaan pada dekade 1930-an. Film berjudul Tie Pat Kai Kawin (1935) besutan sutradara The Teng Chun, telah menggunakan efek khusus untuk memvisualisasikan filmnya. Teknik-teknik yang dipakai hampir menyerupai karya-karya George Melies. Film ini merupakan arsip tertua yang dimiliki Sinematek Indonesia, sebuah lembaga nonprofit yang melakukan pengarsipan film secara mandiri. Ini artinya, film ini merupakan koleksi film tertua yang dimiliki bangsa ini. Oleh karena tidak ada data dan informasi tentang penggunaan efek khusus di awal sinema kita maka Tie Pat Kai Kawin menjadi rujukan pertama jika ingin mempelajari efek khusus.

Enam tahun kemudian, muncullah film Tengkorak Hidoep (1941) yang disutradarai oleh Tan Tjoi Hock yang juga menggunakan efek khusus. Tengkorak Hidoep adalah sebuah film bergenre aksi petualangan. Sumber referensi mengatakan film ini disebut sebagai film horor pertama dalam sinema kita. Unsur horor terletak pada efek khusus yang digunakan untuk membangun efek ketakutan dalam cerita. Namun, secara keseluruhan, film ini nyatanya lebih dekat dengan genre petualangan ketimbang horor. Industri perfilman di Hindia Belanda kala itu, memang didominasi oleh pembuat film beretnis Tionghoa, yang menggunakan tema-tema dengan menyuguhkan aksi yang atraktif untuk menarik khalayak lokal sebagai hiburan. Tentu didukung dengan efek khusus untuk menarik secara visual. Tentu saja, kala itu visualisasinya masih asing dalam pandangan penonton, yang masih hitam putih walaupun sudah bersuara.

Tie Pat Kai Kawin (1935)

Film ini sebenarnya mengadaptasi cerita dari Tiongkok tentang Tie Pat Kai dan Sung Go Kong. Cerita filmnya sangat sederhana. Tie Pat Kai adalah seorang siluman babi yang menjelma menjadi laki-laki tampan untuk menikahi seorang gadis. Namun, lama-kelamaan kedoknya diketahui. Ayah sang gadis, akhirnya meminta bantuan Sung Go Kong dan Tom Sam Cong yang kebetulan melewati desanya. Efek khusus digunakan sebagai sebuah trik untuk memvisualkan adegan perkelahian. Efeknya terlihat pada shot-shot yang memperlihatkan perubahan wujud atau bentuk, serta visualisasi jurus-jurus yang menunjukkan kesaktian mereka. Efek khusus ini dibentuk dengan beberapa teknik, antara lain dengan teknik scratch, stop motion, transisi editing yang dikombinasi dengan properti asli.

Efek khusus dengan menggunakan teknik scratch atau goresan adalah efek yang dihasilkan dari proses merusak lapisan emulsi pada pita seluloid. Untuk menghasilkan efek khusus pada gambar dengan durasi yang diinginkan maka harus merusak lapisan frame demi frame dengan bentuk gambar yang berbeda, untuk menghasilkan gambar bergerak. Teknik untuk menggerakkan efek goresan ini disebut pula dengan teknik stop motion. Untuk menghasilkan efek berdurasi 1 detik maka harus secara manual mengores 24 frame sesuai gambar yang diinginkan. Namun ada pula frame yang hanya digores kurang dari 24 frame, maka efek yang dihasilkan terlihat bergerak sangat cepat, dengan motivasi membentuk efek kecepatan. Efek scratch dengan teknik stop motion ini menghasilkan bentuk-bentuk seperti kilatan cahaya dan seperti kobaran api, karena goresan pada lapisan emulsi seluloid mengakibatkan warna yang muncul di frame berwarna putih.

Baca Juga  Wonder Woman: Kekuatan yang menginspirasi

Efek scratch tidak hanya muncul di shot statis, namun juga muncul di shot dengan pergerakan kamera dengan teknik pan. Untuk menghasilkan efek khusus yang kompleks maka efek scratch tersebut dikombinasikan dengan penggunaan transisi editing. Transisi editing yang dipakai adalah transisi cut. Transisi editing ini dipakai menggambarkan adegan karakter yang secara ajaib bisa menghilang (out frame) ataupun muncul (in frame) di frame secara tiba-tiba. Selain karakter yang hilang, visualisasi efek khusus lainnya adalah mengubah bentuk karakter ke objek tertentu atau dari objek benda tertentu ke karakter. Perubahan bentuk atau wujud ini memberikan efek transisi jump cut. Efek jump cut ini memberikan motif bahwa sang karakter memiliki kekuatan supernatural. Efek khusus yang muncul didukung pula dengan properti asli seperti pengunaan asap untuk meyakinkan adegan lebih terlihat nyata. Perpaduan antara efek scratch, stop motion, transisi editing serta pengunaan properti asli menjadikan efek khusus yang kompleks di film ini.

Tengkorak Hidoep (1941)

Tengkorak Hidoep bercerita tentang Raden Darmaji dan anaknya yang berpetualang di sebuah hutan. Di hutan tersebut, terdapat suku asli yang telah turun temurun tinggal di hutan tersebut. Tak sengaja, Raden Darmaji dan rombongan sampai pada lokasi makam tua, seseorang yang memiliki kesaktian bernama Maha Daru. Dikisahkan Maha Daru akhirnya bangkit dari kubur dan menjadikan suku asli tersebut sebagai kaki tangannya. Adegan efek khusus yang digunakan lebih fokus untuk memvisualisasikan Maha Daru yang bangkit dari kuburnya dan menampakkan diri pada suku asli tersebut. Teknik yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu kombinasi properti asli dan transisi editing.

Adegan Maha Daru bangkit dari kuburnya memperlihatkan properti asli berupa bentuk kerangka tengkorak berubah menjadi manusia (Maha Daru) dengan mengunakan transisi dissolve. Properti berbentuk kerangka dimungkinkan merupakan replika kerangka manusia. Transisi editing dissolve yang secara perlahan merubah sosok kerangka menjadi Maha Daru mampu memberikan efek kengerian. Transisi dissolve macam ini tidak muncul dalam Tie Pat Kai Kawin. Teknik ini selalu digunakan pada adegan yang menunjukkan perubahan wujud karakter serta muncul/hilangnya tokoh dalam frame. Efek khusus juga terlihat pada adegan ketika Maha Daru menampakkan dirinya di depan suku asli. Tekniknya sama, namun hanya tambahan menggunakan trik properti asap untuk menambah suasana mengerikan.

Teknik efek khusus (special effect) dalam Tie Pat Kai Kawin dan Tengkorak Hidoep pada masanya telah memberikan gambaran, bagaimana efek khusus digunakan untuk memvisualisasikan adegan yang tidak biasa (supernatural). Efek khusus menggunakan teknik yang sederhana berupa properti asli hingga teknik rumit, seperti teknik scratch dan stop motion. Teknik-teknik ini dikombinasikan dengan transisi editing yang efeknya memiliki motifnya masing-masing. Dari gambaran teknik yang digunakan untuk efek khusus tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa teknik tersebut adalah sebuah terobosan dan eksplorasi sinematik pada masa tersebut. Sebuah karya yang patut kita apresiasi di masa kini. Bagaimana dengan teknologi visual effect yang kita gunakan dalam sinema kita kini? Apakah sudah sebanding dengan film-film kita dahulu yang telah melakukan eksplorasi sinematik? Rasa-rasanya sinema kita saat ini belum berkembang ke arah ini. Semoga ke depan, sinema kita lebih memperhatikan tentang bahasa visual atau sinematik untuk mengemas film-filmnya, khususnya dalam penggunaan efek visual.

Artikel SebelumnyaGareth Evans Arahkan Deathstroke (DC Comics)
Artikel BerikutnyaNegeri Dongeng
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.