Produksi film ini sebenarnya berawal dari adanya ajang Festival Film Kudus 2014 yang diadakan oleh pemerintah setempat untuk memajukan pariwisatanya. Salah satu yang menjadi daya tarik adalah hadiah uang sebesar 250 juta! Rasanya hingga kini pun untuk level festival film dokumenter pendek di Indonesia ini masih yang terbesar. Kami pun tertarik untuk ikut ajang ini karena kami juga punya beberapa rekan di sana yang bisa membantu. Masalahnya, untuk memproduksi film ini, kami satu kru produksi harus ke sana.

Satu hal yang menjadi masalah terbesar adalah pendanaan. Setidaknya kami harus memiliki dana yang cukup untuk, sewa mobil, alat, makan, penginapan, dan sebagainya yang tentu tidak sedikit. Setidaknya kami pun harus berada di Kudus sekitar 4-5 hari. Kebetulan saat itu (November 2014), dua film kami, yakni 05:55 dan Superboy tengah berlomba di Festival Film Indie Jogja 2014 (sekarang sudah ditiadakan) yang keduanya masuk nominasi. Kami hanya berharap jika menang, uangnya bisa digunakan untuk memproduksi film di Kudus. Tanpa kami duga sama sekali, dua film kami memboyong 3 piala dalam 3 kategori. Kami akhinya memiliki dana yang cukup untuk produksi film ke Kudus.

Waktu yang sangat terbatas hanya seminggu, tentu tidak memungkinkan kami untuk memproduksi film dokumenter yang fokus ke satu hal. Oleh karena kami memang tidak tahu satu hal pun tentang wilayah Kudus secara rinci selain hanya googling. Akhirnya, kami memilih konsep sederhana yang terinspirasi film eksperimental Baraka dan Koyanisqaatsi, dan sebelumnya kami sudah membuat film sejenis, yakni Grabag (2013). Kami membaginya dalam beberapa segmen besar, seperti panorama alam, kuliner, arstektur, rokok kretek, dan sebagainya. Ide dan konsep visual sudah oke, hanya saja, kami harus tahu betul apa yang kami ambil karena tidak ada waktu riset untuk ke sana. Bermodal dua rekan kami yang tinggal di sana, kami pun mencoba menggali banyak informasi serta beberapa tempat yang bisa kita ambil. Narasumber atau kontak lainnya pun kami dibantu rekan kami di sana. Walau konsepnya tak rinci (hanya berupa treatment kasar) dan berjudi dengan waktu dan lokasi, kami pun, tim berjumlah 4 orang, nekad berangkat ke sana.

Rasanya, tidak bisa secara rinci kami tulis di sini bagaimana ribetnya proses produksi selama di sana. Selama di sana pun, beberapa lokasi, seperti Menara Kudus, pedagang di sana seperti sudah terbiasa melihat kami karena sebelumnya belasan pembuat film seperti kami juga wira-wiri di sana untuk ikut festival film yang sama. Banyak hal dalam produksinya, kami amat beruntung. Dua rekan kami di sana, memang sangat menolong kami. Proses produksi jenang Kudus, pembuatan batik, hingga Tari Kretek tidak mungkin bisa diproduksi jika rekan kami di sana tidak membantu. Satu hal yang paling beruntung adalah akses ke pabrik rokok kretek tradisional yang ternyata perijinannya sulit. Untuk bisa masuk, kami dibantu oleh pemilik jenang Kudus yang kami ambil gambarnya, rupanya salah satu pemilik pabrik rokok kretek adalah rekannya sendiri. Sungguh tidak bisa dipercaya. Sungguh momen yang tidak bisa dilupakan selama kami berproduksi di sana. Khususnya aspek kuliner, semuanya serba murah dan nikmat di mana pun kami membelinya.

Baca Juga  Wonder Woman: Kekuatan yang menginspirasi

Lalu, apakah film kami menang? Sayangnya tidak. Film pemenang pun diputar pada malam penghargaan dan kami pun heran dengan pemenangnya karena banyak omongan di kanan kiri kami, itu bukan menjadi satu hal yang khas di Kudus dan bukan berasal dari sana. Belakangan pun kami mendengar rumor, latar belakang pemilihan pemenang ternyata ada motif khusus. Bahkan yang membuat kami paling syok beberapa waktu setelahnya, ternyata festival film ini tengah diperiksa oleh kejaksaan setempat karena ada dugaan kasus korupsi di sana. Kamu bisa baca beritanya di sini. Hmm. Luar biasa. Film kami ini memang tidak banyak kami kirim ke festival lainnya, hanya beberapa gelintir festival film internasional, dan ternyata lolos dan diputar di salah satu festival turisme besar di Riga, Latvia.

Film kami tidak mewah dan mahal. Produksinya pun hanya beberapa hari saja dengan alat seadanya yang kami miliki dan pinjam. Hasil filmnya, bagi kami sangat memuaskan dan berkesan. Kami berterima kasih sekali kepada rekan-rekan kami di sana, terutama Mbak Lisna dan Mas Syarief yang telah membantu segalanya selama produksi. Jika ada waktu, tenaga, dan uang, kami pun tidak keberatan jika kembali produksi di kota kecil yang nyaman dan unik ini. Selamat menonton!

1
2
Artikel SebelumnyaAll the Bright Places
Artikel BerikutnyaThe Way Back
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.