Batman (1989)
126 min|Action, Adventure|23 Jun 1989
7.5Rating: 7.5 / 10 from 406,001 usersMetascore: 69
The Dark Knight of Gotham City begins his war on crime with his first major enemy being Jack Napier, a criminal who becomes the clownishly homicidal Joker.

Seorang ayah, ibu, dan putranya tersesat di gelapnya lorong kota Gotham. Dua orang berandalan menyambangi mereka dan mengambil dompet sang ayah. Sesosok misterius mengamati mereka dari atap gedung. Sambil menghitung uang hasil rampokan mereka, seorang berandal mengumbar omongan tentang gosip kelalawar raksasa yang membekuk rekan mereka. Mendadak muncul dari atas sesosok kelalawar. Seorang berandal menembak dan sang kelelawar terjatuh. Belum sempat mereka kabur sosok tersebut bangkit dan menghajar mereka. Satu berandal merengek minta ampun ketika ia diangkat ke tepi gedung. “What are you” kata si berandal. “I’m Batman!”.

Nuansa film yang gelap dan suram layaknya film horor sangat menyatu dengan karakter Batman. Pencapaian artistik memang menjadi kekuatan utama film ini. Setting ekspresionis yang menjadi gaya Burton plus tata cahaya low-key dominan sepanjang film. Kostum sang jagoan hingga Batmobile pun tak luput dari sentuhan Burton. Seluruhnya menyatu saling memadu begitu sempurna menjadikan pencapaian artistik film ini adalah salah satu yang terbaik dalam sejarah perfilman. Pencapaian artistiknya jauh melupakan penonton dari plotnya sendiri yang cenderung lambat dan membosankan. Tak heran jika film ini meraih Oscar untuk tata artistik terbaik. Walau pencapaian efek visual tidak secanggih sekarang namun Batman mampu menampilkan beberapa sekuen aksi seru dengan menawan. Aksi kejar-mengejar Batmobile dengan para gangster serta tentunya sekuen klimaks kejutan di acara karnaval. Gadget sang jagoan seperti alat penarik yang digunakan untuk “terbang” ke atap gedung juga ditampilkan begitu meyakinkan dalam banyak adegannya.

Baca Juga  Sang Penari, Antara Trauma, Pengorbanan, dan Cinta

Kasting Michael Keaton yang semula mendapat protes dari puluhan ribu fans komik Batman justru mendapat pujian karena akting sang aktor yang kalem kala menjadi Bruce Wayne dan garang kala menjadi sang jagoan. Namun akting brilyan justru ditampilkan Jack Nicholson yang menjadi man of the macth dalam film ini. Berperan sebagai Joker, Nicholson tampil “gila” dimana pun adegan dia muncul. Peran Nicholson dalam film ini paling dominan diantara semua pemain lainnya termasuk Keaton. Bisa saja karena ia adalah aktor bayaran tertinggi di film ini namun terlepas itu Nicholson tampil meyakinkan sebagai Joker. Satu lagi yang mendukung amat kuat filmnya adalah ilustrasi musik yang megah membahana oleh Danny Elfman yang juga kolaborator tetap Burton. Sejak menit pertama musik tema Batman telah mampu mencuri perhatian kita.

Sekalipun Batman diproduksi 22 tahun silam namun tetap saja bisa dinikmati oleh penonton masa kini. Batman layaknya film superhero modern telah membuka jalan serta menginspirasi film-film superhero setelahnya. Pencapaian artistik Batman yang orisinil rasanya juga sulit untuk tertandingi film-film superhero, fantasi, atau fiksi ilmiah masa kini yang sangat bergantung pada CGI.

Artikel SebelumnyaCaptain America: The First Avenger, Superhero Bermodal Hati Mulia
Artikel BerikutnyaFilm Superhero dari Masa ke Masa
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.