No Merchandising. Editorial Use Only. No Book Cover Usage. Mandatory Credit: Photo by Marvel/Paramount/Kobal/REX/Shutterstock (5885861bb) Chris Evans, Hayley Atwell Captain America - The First Avenger - 2011 Director: Joe Johnston Marvel/Paramount USA Scene Still
Captain America: The First Avenger (2011)
124 min|Action, Adventure, Sci-Fi|22 Jul 2011
6.9Rating: 6.9 / 10 from 902,638 usersMetascore: 66
Steve Rogers, a rejected military soldier, transforms into Captain America after taking a dose of a "Super-Soldier serum". But being Captain America comes at a price as he attempts to take down a warmonger and a terrorist organiza...

Steve Rogers (Evans) adalah seorang pemuda lemah dengan postur tubuh yang kecil namun berhati mulia. Ia ingin maju ke medanperang namun pihak rekrutmen militer berulang kali menolaknya karena kondisi fisiknya. Nasib baik berpihak padanya ketika seorang peneliti militer, Dr. Erskin (Tucci) menawarkannya sebuah kesempatan  menjadi uji coba dalam eksperimen “tentara super”. Uji coba sang dokter berhasil namun sang dokter tewas karena ditembak seorang agen musuh yang menyelinap masuk. Rogersberubah secara fisik menjadi lebih tinggi, berotot, sangat kuat, dan mampu berlari sangat cepat melebihi kemampuan manusia. Publik memberinya nama Kapten Amerika. Kapten Amerika mendapat tugas menumpas kelompok Hydra yang dipimpin oleh Red Skull (Weaving) yang ingin menguasai dunia.

Film dibuka dengan sekelompok orang yang tengah melakukan eksplorasi di tengah badai salju. Pencarian berbuah hasil dengan ditemukannya sebuah perisai logam yang bergambar bintang. Inti kisah filmnya nyaris seluruhnya adalah kilas balik yang menggambarkan latar-belakang Kapten Amerika. Plotnya bertutur ringan dan sederhana seperti kebanyakan film superhero lainnya. Uniknya film ini lebih mengedepankan sisi dramatik ketimbang aksi filmnya. Aksi-aksinya berjalan apa adanya dan tidak memaksa. Penonton juga diperkenalkan dengan banyak karakter yang unik, seperti Kolonel Chester, Dr. Zola, Howard Stark (ayah Tony Stark), dan tentu Peggy (cewek idola Rogers). Sekali pun bisa dibilang plotnya bertutur cepat namun cukup untuk menggambarkan siapa Kapten Amerika.

Baca Juga  Fenomena Twilight

Satu hal unik yang jarang kita temui pada film superhero sejenis adalah setting waktu era Perang Dunia Kedua (tahun 40-an). Dengan tone warna yang hangat, setting beserta propertinya hingga kostum mendukung sempurna kisah superhero ini. Sekalipun menampilkan adegan-adegan aksi yang sederhana ketimbang film seperhero lainnya, film ini juga tak luput dari penggunaan rekayasa digital. Justru pencapaian paling unik tidak pada sekuen aksinya namun pada manipulasi sosok aktor Chris Evans hingga terlihat lebih kerempeng dan kecil dari sosok aslinya. Komposer Alan Silvestri juga mampu membuahkan ilustrasi musik yang menghentak dan dinamis untuk memperkuat aksi-aksi heroik sang jagoan.

Apa yang menarik dari film ini adalah sosok sang superhero sendiri. Tidak seperti superhero lainnya, sosok asli Steve Rogers, secara fisik maupun materi tidak memiliki modal apa-apa selain jiwa yang mulia dan hangat. “I don’t wanna kill anybody. I just don’t like bullies where ever they come from”. Orang bisa saja beropini bahwa karakter superhero termasuk Kapten Amerika adalah “milik” orang Amerika. Kita semua manusia adalah sama, dan di belahan manapun di muka bumi ini, semua orang membutuhkan superhero, darimana pun asalnya. They bring peace, hope, justice, and above all their hearts.

Artikel SebelumnyaX-Men: First Class, Film X – Men Terbaik
Artikel BerikutnyaBatman, Pelopor Film Superhero Modern
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.