No Merchandising. Editorial Use Only. No Book Cover Usage. Mandatory Credit: Photo by Marvel/Paramount/Kobal/REX/Shutterstock (5885861bb) Chris Evans, Hayley Atwell Captain America - The First Avenger - 2011 Director: Joe Johnston Marvel/Paramount USA Scene Still
Captain America: The First Avenger (2011)
124 min|Action, Adventure, Sci-Fi|22 Jul 2011
6.9Rating: 6.9 / 10 from 892,324 usersMetascore: 66
Steve Rogers, a rejected military soldier, transforms into Captain America after taking a dose of a "Super-Soldier serum". But being Captain America comes at a price as he attempts to take down a warmonger and a terrorist organiza...

Steve Rogers (Evans) adalah seorang pemuda lemah dengan postur tubuh yang kecil namun berhati mulia. Ia ingin maju ke medanperang namun pihak rekrutmen militer berulang kali menolaknya karena kondisi fisiknya. Nasib baik berpihak padanya ketika seorang peneliti militer, Dr. Erskin (Tucci) menawarkannya sebuah kesempatan  menjadi uji coba dalam eksperimen “tentara super”. Uji coba sang dokter berhasil namun sang dokter tewas karena ditembak seorang agen musuh yang menyelinap masuk. Rogersberubah secara fisik menjadi lebih tinggi, berotot, sangat kuat, dan mampu berlari sangat cepat melebihi kemampuan manusia. Publik memberinya nama Kapten Amerika. Kapten Amerika mendapat tugas menumpas kelompok Hydra yang dipimpin oleh Red Skull (Weaving) yang ingin menguasai dunia.

Film dibuka dengan sekelompok orang yang tengah melakukan eksplorasi di tengah badai salju. Pencarian berbuah hasil dengan ditemukannya sebuah perisai logam yang bergambar bintang. Inti kisah filmnya nyaris seluruhnya adalah kilas balik yang menggambarkan latar-belakang Kapten Amerika. Plotnya bertutur ringan dan sederhana seperti kebanyakan film superhero lainnya. Uniknya film ini lebih mengedepankan sisi dramatik ketimbang aksi filmnya. Aksi-aksinya berjalan apa adanya dan tidak memaksa. Penonton juga diperkenalkan dengan banyak karakter yang unik, seperti Kolonel Chester, Dr. Zola, Howard Stark (ayah Tony Stark), dan tentu Peggy (cewek idola Rogers). Sekali pun bisa dibilang plotnya bertutur cepat namun cukup untuk menggambarkan siapa Kapten Amerika.

Baca Juga  Seri Heroes, “X-Men” versi Televisi

Satu hal unik yang jarang kita temui pada film superhero sejenis adalah setting waktu era Perang Dunia Kedua (tahun 40-an). Dengan tone warna yang hangat, setting beserta propertinya hingga kostum mendukung sempurna kisah superhero ini. Sekalipun menampilkan adegan-adegan aksi yang sederhana ketimbang film seperhero lainnya, film ini juga tak luput dari penggunaan rekayasa digital. Justru pencapaian paling unik tidak pada sekuen aksinya namun pada manipulasi sosok aktor Chris Evans hingga terlihat lebih kerempeng dan kecil dari sosok aslinya. Komposer Alan Silvestri juga mampu membuahkan ilustrasi musik yang menghentak dan dinamis untuk memperkuat aksi-aksi heroik sang jagoan.

Apa yang menarik dari film ini adalah sosok sang superhero sendiri. Tidak seperti superhero lainnya, sosok asli Steve Rogers, secara fisik maupun materi tidak memiliki modal apa-apa selain jiwa yang mulia dan hangat. “I don’t wanna kill anybody. I just don’t like bullies where ever they come from”. Orang bisa saja beropini bahwa karakter superhero termasuk Kapten Amerika adalah “milik” orang Amerika. Kita semua manusia adalah sama, dan di belahan manapun di muka bumi ini, semua orang membutuhkan superhero, darimana pun asalnya. They bring peace, hope, justice, and above all their hearts.

Artikel SebelumnyaX-Men: First Class, Film X – Men Terbaik
Artikel BerikutnyaBatman, Pelopor Film Superhero Modern
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.