Black Dog adalah film produksi Tiongkok arahan Guan Hu. Film ini telah meraih penghargaan bergengsi Un Certain Regard di Cannes Film Festival pertengahan tahun ini. Film berdurasi 110 menit ini dibintangi beberapa nama lokal tenar, yakni Eddie Peng, Jia Zhanke, dan Tong Liya. Beruntungnya bagi para cinephile lokal, film ini juga diputar dalam ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2024 awal bulan lalu. Lantas seberapa istimewakah pencapaian film ini?
Lang (Peng) adalah seorang mantan narapidana yang kembali ke kota kampung asalnya atas tuduhan pembunuhan. Kota kampung halamannya yang terletak di pinggiran Gurun Gobi yang tandus, setelah 10 tahun kini telah berubah menjadi kota sepi yang ditinggal sebagian besar penduduknya. Anjing-anjing liar banyak tersebar di seluruh penjuru kota. Sekaligus menyambut Olimpiade 2008 dan modernisasi kota tersebut agar menarik pendatang, maka otoritas berupaya untuk mengatasi “wabah” anjing tersebut. Lang pun turut masuk dalam tim penangkap hewan tersebut. Dalam perkembangan, Lang mendapati seekor anjing hitam liar yang lambat laun bersahabat dengannya. Sang anjing pun dengan setia menyertai Lang dalam menghadapi kegamangan hidup dan batinnya di tengah kota yang tengah bertransisi.
Siapa pun tahu, siapa bintang sesungguhnya dalam kisah film ini, yakni anjing. Tidak hanya seekor saja, namun puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Tokoh seekor anjing dalam medium film memang bukan hal baru. Sejak Rescued by Rover (1905), Benji (1974), Hachiko Monogatari (1987), Hachi: A Dog’s Tale (2009), White God (2014) serta puluhan film lainnya, telah memperlihatkan bagaimana anjing mampu berperan penuh layaknya tokoh manusia. Tentu mustahil untuk sekor anjing bisa sepenuhnya kooperatif dalam proses produksi, namun film-film ini seolah membuktikan sebaliknya. Black Dog adalah salah satu contoh terbaik yang meraih pula Palm Dog Awards dalam ajang Cannes kemarin.
Sejak shot pembuka, gelagat ini mulai terlihat. Terlihat sebuah bis yang terbalik akibat terganggu ulah sekawanan besar anjing yang lewat di depannya. Hebatnya, ini semua dilakukan hanya menggunakan sebuah shot (satu gerakan panning) yang sangat mengagumkan. Entah bagaimana, para pembuat film mampu mengarahkan anjing sebanyak itu. Sepanjang filmnya, aksi-aksi yang sama juga terlihat, khususnya penampilan si anjing hitam yang menjadi titelnya. Sungguh edan, sang anjing bisa tampil galak, namun kadang lembut dalam satu shot yang berjalan.
Bahkan dalam satu adegan perkelahian Lang dengan beberapa orang, sang anjing bisa masuk ke dalam ruangan dengan satu lompatan dan memecahkan kaca jendela. Bagaimana bisa??? Seolah sang anjing bisa diperintah dengan mudah dan memahami blocking (pergerakan pemain), “sehabis kamu menyalak sebentar di posisi ini, lalu kamu melompat masuk ke dalam sana melalui jendela kaca”. Ini nyaris mustahil! Sulit untuk menjelaskan jika kalian tidak menontonnya sendiri.
Di luar itu, Black Dog memiliki production value yang teramat luar biasa. Penggunaan kota kecil yang tengah sekarat dengan sisa dinamikanya disajikan dengan meyakinkan. Juga puluhan gedung bertingkat dan bangunan yang ditinggal ribuan penghuninya, toko-toko, rumah sakit, kereta api, sirkus, hingga eks kebun binatang yang menyisakan segelintir faunanya. Masih terlintas, Kowloon Walled City dalam Twilight of the Warriors (2023) yang setting-nya dibuat dengan demikian menakjubkan, namun Black Dog seluruhnya adalah otentik. Kombinasi setting plus iklim gurun (angin, badai, pasir) dengan keberadaan anjing-anjing liarnya adalah satu hal yang sama sekali tidak terbayangkan menjadi sebuah satu set penuh (satu kota) dalam sebuah kisah film. Ini adalah salah satu rangkaian set terbaik dalam film yang pernah saya jumpai.
Sisi sinematografi pun disajikan unik dan tak biasa dengan didominasi shot jauh. Film ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan shot dekat (close-up) dan tidak pernah ada satu pun close up wajah karakternya. Sang sineas juga sering kali menahan shot-nya beberapa lama. Seolah ingin menggambarkan betapa berjarak antara kamera (audience) dengan para tokohnya. Seolah tiap adegan adalah satu fragmen-fragmen pendek yang disajikan berkesinambungan tanpa ada relasi mendalam dengan tiap tokohnya. Untuk memahami motif ini rasanya relate dengan inti kisahnya yang berhubungan dengan situasi Tiongkok era tersebut yang direfleksikan melalui tokoh-tokohnya.
Sederhana saja, Black Dog adalah bicara tentang sebuah perubahan besar-besaran yang ada di Tiongkok yang menjadikannya Cina seperti sekarang ini (negara adidaya super modern). Sosok Lang (narapidana selama 10 tahun) adalah karakter yang sempurna untuk memperlihatkan kampung halamannya yang telah tertinggal. Persepektif Lang adalah romantisme masa lalunya dan anjing-anjing liar (khususnya si anjing hitam) adalah bagian yang tak terlepas dari kota. Lang, si anjing, dan seluruh warga tersisa adalah rekan senasib (sekaligus korban).
Suara-suara lantang dari mikrofon (simbol penguasa dan pembaruan) nyaris terdengar dalam tiap adegan seolah mengingatkan warga tanpa henti. Fenomena gerhana matahari di akhir menjadi satu aksi penutup yang brilian menggambarkan bahwa ini semua (modernisasi) adalah sebuah proses global yang tak bisa terhindarkan. Lang mencoba menutup kisahnya dengan pembuktian satu lompatan hebat (final) dengan motor tuanya, dan tentu saja ia gagal. Siapa yang sanggup menentang perubahan jaman?
Black Dog memiliki production value langka dalam medium film selain kisah membumi yang merefleksikan situasi Tiongkok pada konteks waktunya. Black Dog adalah satu film terbaik dan paling brilian yang pernah saya tonton sejak beberapa dekade terakhir. Saya sungguh berharap film ini bisa berbicara lebih dalam ajang Academy Awards atau pun Golden Globe (keduanya tidak masuk). Namun fakta menunjukkan, sudah bertahun-tahun, sejak Hero (2002) (Academy Awards) dan The Flowers of War (2011), keduanya garapan Zhang Yimou, film-film Cina tidak pernah lagi pernah masuk nominasi dalam kategori ini. Padahal sebelumnya, film-film produksi Cina sering kali menjadi langganan kategori ini. Entahlah, mungkin ada yang bisa menjawab?