Cars 3 (2017)

102 min|Animation, Adventure, Comedy|16 Jun 2017
6.7Rating: 6.7 / 10 from 127,834 usersMetascore: 59
Lightning McQueen sets out to prove to a new generation of racers that he's still the best race car in the world.

Semua orang tahu, Studio Pixar adalah penghasil film-film animasi berkualitas tinggi yang menjadi langganan peraih Oscar. Namun, semua orang juga tahu jika seri Cars, adalah seri terlemah mereka dengan lebih mengandalkan segmen aksi balapnya ketimbang kedalaman cerita. Sebuah pilihan berani dari studio ini untuk memproduksi Cars 3. Mereka tahu bahwa seri ini adalah titik terlemah mereka dari sisi kritik, dan sejauh ini seri ketiga ini menghasilkan hanya US$ 300 juta (Pencapaian box-office terendah studio Pixar). Mengapa mereka bersusah payah memproduksi seri animasi ini lagi? Sebuah penutup yang manis adalah jawabnya.

Kisahnya amat jauh berbeda dari seri pertama dan kedua. Lighting McQueen rupanya masih menyisakan kejayaan di arena balap sebelum pembalap muda, Jackson Storm datang. McQueen memaksakan diri untuk membalap jauh di luar kemampuannya, hingga akhirnya musibah pun datang. Beberapa bulan berselang, rupanya McQueen masih belum mau pensiun, hingga membawanya ke pemilik sponsor barunya, dan berlatih bersama pelatih muda, Cruz Ramirez dengan metode modernnya. McQueen menolak semuanya, dan apa yang dilakukannya selalu sia-sia hingga berujung pertemuannya dengan pelatih lama mentornya (Doc). Semasa latihan, McQueen lambat laun menyadari bahwa Cruz memiliki potensi yang jauh lebih dari dirinya.

Dari kisahnya, sudah tampak jika film ini sebenarnya bukan lagi untuk konsumsi anak-anak. Dialog-dialog yang berat lebih mendominasi ketimbang segmen aksinya. Saya tidak habis pikir, bagaimana anak-anak yang mengisi sebagian besar kursi bioskop bisa menikmati ini semua. Film ini sejatinya adalah konsumsi penonton dewasa dengan pesan mendalam yang rasanya sulit dipahami anak-anak. Film ini adalah sebuah proses tentang bagaimana orang dewasa bisa lebih bijak untuk melepas ambisi pribadinya, dan merelakan generasi yang lebih muda untuk mewarisi suksesnya. Jika diandaikan seri pertama, film ini berkisah dari sudut pandang Doc, sang mentor. Pixar kali ini berjudi dengan kisahnya, dan rasanya tahu benar apa resikonya. Setidaknya Pixar menutup manis seri Cars dengan cara yang elegan.

Baca Juga  Canary Black

Cars 3 adalah sebuah percobaan yang berani dari Pixar Studio dengan mengorbankan target penonton usia anak-anak. Dari sisi visual, rasanya sudah tak perlu dikomentari lagi. Pencapaian visual animasi di era sekarang memang sudah sangat berbeda dengan dekade lalu dengan meyajikannya jauh lebih realistik. Segmen aksinya memang tidak seheboh seri pertama dan kedua, namun lebih menekankan pada sisi dramatik kisahnya. Jujur saja, film ini khususnya di babak pertengahan terasa sangat membosankan, walau akhirnya mampu ditutup dengan manis. Untuk genrenya sendiri, olahraga, film ini mampu menampilkan sesuatu yang segar melalui plotnya. Sebagai kesimpulan, sikap dewasa McQueen bisa ditiru para orang tua/dewasa/pemimpin di negeri ini. Kebahagiaan bisa diraih bukan hanya membuktikan diri kita menjadi orang sukses, namun membuat generasi di bawah kita menjadi lebih baik dan lebih sukses dari kita.
WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaBerangkat!
Artikel BerikutnyaAtomic Blonde
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.