Darah dan doa (1950)
150 min|Drama, War|N/A
6.7Rating: 6.7 / 10 from 46 usersMetascore: N/A
It tells the story of an Indonesian revolutionary who falls in love with one of his Dutch prisoners.

Darah dan Doa (The Long March) adalah sejarah bagi perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama yang diproduksi studio film lokal setelah Indonesia merdeka, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting film ini, yakni 30 Maret, ditetapkan pemerintah sebagai Hari Film Nasional.  Film ini sendiri adalah film drama perang yang berlatar era aksi polisionil Belanda di akhir dekade 40-an lebih khususnya aksi long march pasukan divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Perang yang mereka hadapi tidak hanya dengan Belanda namun juga para pemberontak. Kisah berpusat pada karakter Kapten Sudarto (Del Juzar) yang memimpin divisi bersama sohibnya, Adam.

Sisi manusiawi kisahnya terfokus pada karakter Sudarto ketika dalam situasi dan kondisi serba genting, ia justru disibukkan dengan urusan pribadinya. Sepanjang perjalanan ia berhubungan asmara dengan dua orang gadis, pertama adalah gadis asing keturunan Jerman, dan satu lagi adalah Widya, seorang perawat, padahal ia sudah beristri. Polah Sudarto selalu membuat geram Adam yang membuat suasana tidak kondusif karena selalu menjadi gunjingan anak buahnya. Dalam sebuah aksi pertempuran Sudarto kehilangan orang-orang yang terdekatnya. Sudarto pun sadar bahwa ia melakukan kesalahan.

Separuh awal kisahnya boleh jadi memang sedikit membosankan karena kaburnya fokus cerita. Posisi geografis lokasi cerita hampir tak pernah jelas karena tidak pernah dipaparkan secara gamblang. Namun arah cerita mulai jelas setelah separuh cerita dengan akhir yang amat mengejutkan. Film ini intinya menyinggung keras perpecahan antar satu bangsa yang kala itu menjadi isu besar. Sesama anak bangsa membunuh satu sama lain atas nama kelompok dan dendam.

Baca Juga  NamaMu Kata Pertamaku

Dari sisi teknis memiliki kekuatan terutama dari aspek sinematografi. Teknik-tekniknya banyak mengingatkan pada gaya sineas Jepang kawakan, Kenji Mizoguchi yang kaya pergerakan kamera, komposisi yang kuat, penggunaan long take, serta jarang sekali menggunakan close up. Satu shot di adegan akhir adalah satu contoh sempurna dengan motif yang kuat. Penggunaan setting studio terlalu artifisial berbalik dengan penggunaan shot on location-nya yang menampilkan panorama alam perbukitan yang indah. Sementara dari sisi akting bagi penonton masa kini bisa jadi dialog dan akting para pemainnya terlihat sangat kaku. Para pemain layaknya menghafal dialog tanpa ekspresi yang sepatutnya. Mungkin jika menggunakan bahasa daerah setempat (Sunda dan Jawa) seperti dalam beberapa adegan, film ini bisa lebih baik.

Darah dan Doa adalah contoh sebuah film kita yang kuat secara tema dan masih relevan hingga kini. Pada penutup filmnya sang kapten berpesan dengan terbata-bata, “Jangan diulangi lagi, biar aku saja.” seolah ia berbicara pada kita (penonton) sebelum ia jatuh mencium tanah. Pertumpahan sesama anak bangsa cukup disudahi momen ini saja dan tak perlu ada lagi. Namun, sejarah membuktikan pesan ini ternyata hanya angan-angan dan mimpi belaka.

Artikel SebelumnyaMalam Satu Suro, Suzanna dan Tradisi Horor Lokal
Artikel BerikutnyaSekilas Sejarah Film Indonesia
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.