Flow (2024)
84 min|Animation, Adventure, Family|28 Aug 2024
8.1Rating: 8.1 / 10 from 1,297 usersMetascore: N/A
Cat is a solitary animal, but as its home is devastated by a great flood, he finds refuge on a boat populated by various species, and will have to team up with them despite their differences.

Film animasi feature bertokoh binatang yang sama sekali tidak menggunakan dialog terhitung amat langka. Sebuah film animasi produksi Latvia berjudul Flow mencoba mengeksplorasi dengan narasi yang unik. Film yang digarap dan ditulis naskahnya oleh Gints Zilbalodis ini telah diapresiasi di banyak festival bergengsi, termasuk menjadi wakil dari Latvia untuk bersaing dalam kategori film animasi terbaik dalam ajang Academy Awards yang berlangsung tahun depan. Lantas, seberapa istimewa film animasi ini?

Latar belakang plotnya sama sekali tidak disinggung dalam kisahnya. Plotnya terfokus pada satu karakter kucing hitam yang bertahan hidup dari bencana luapan air laut yang kian naik secara drastis. Petualangan sang kucing mempertemukannya dengan beragam binatang lain, yakni kapibara, seekor anjing, lemur, seekor burung sekretaris, hingga ikan paus. Kisahnya mengalir sederhana dengan penekanan pada relasi dan kedekatan di antara mereka, di tengah situasi yang luar biasa. Di sepanjang perjalanan mereka pun melewati sisa-sisa peradaban umat manusia dan puing-puing kota yang terbengkalai.

Bicara plotnya yang sama sekali tidak menggunakan dialog (murni suara hewan) ini tentu menantang bagi penonton awam. Sebelum separuh durasi sudah terlihat ada beberapa penonton yang keluar dari ruang bioskop. Mungkin karena kemasan filmnya tidak sesuai ekspektasi mereka. Jika menganggap Flow adalah film animasi yang identik dengan target segala usia, khususnya penonton anak-anak, adalah sebuah kesalahan besar. Flow bukan tontonan mudah bagi orang dewasa sekali pun.

Satu pertanyaan yang paling mengusik penonton tentu adalah mengapa, di mana, dan kapan kisahnya terjadi? Pertanyaan besar adalah di mana umat manusia tersisa dan mengapa tidak ada satu pun yang selamat? Lantas apa yang menyebabkan air laut bisa naik begitu drastis hingga ratusan meter? Bicara soal hewan-hewan yang menjadi sentral kisahnya, juga menimbulkan banyak pertanyaan. Kucing dan anjing adalah hewan yang bisa hidup di belahan bumi mana saja, namun tidak untuk lainnya. Kapibara berasal dan hidup di wilayah Amerika Selatan, lemur berasal dari Pulau Madagaskar, sementara burung sekretaris terdapat di wilayah Afrika sub-sahara. Tentu saja absurditas dan aroma magis kisahnya tidak mampu dimaknai secara literal, namun adalah sebagai sebuah simbol.

Baca Juga  Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri

Flow sedikit banyak mengingatkan pada plot The Wild Robot yang sama-sama mengisahkan bagaimana beragam jenis hewan harus bertahan hidup. Ada beberapa poin cerita yang sama, yakni persahabatan dan saling bahu membahu untuk bisa bertahan hidup. Poin cerita tentang “sang terpilih” juga disinggung, melalui sosok si robot dan si angsa, walau tidak seabsurd dan transendental layaknya Flow.

Cerita Flow mengarah pada kisah Nabi Nuh, di mana sang nabi menyelamatkan segelintir umat manusia dan binatang melalui sebuah bahtera untuk menghindari bencana banjir besar yang melanda bumi. Sosok sang “nabi” di sini terlihat diwakilkan oleh sosok burung sekretaris, di mana sang burung memiliki kebijakan dan sikap toleransi yang kontras dengan rekan sekawanannya. Si burung pun akhirnya ditinggal pergi kawanannya dan bergabung dengan si kucing hitam dan kawan-kawan, bahkan menjadi navigator perahu. Tujuan sang burung rupanya adalah daratan (bukit) yang menjulang sangat tinggi, dan di puncak terjadi sebuah peristiwa adikodrati yang hanya disaksikan sang kucing. Bisa jadi, sang kucing dan rekan-rekannya mereflesikan umat manusia agar mampu (berkaca) memaknai diri mereka sendiri dan saling memahami satu sama lain, serta hidup harmonis dengan alam. Shot penutupnya secara brilian menegaskan hal ini.

Tidak hanya kisahnya yang unik, namun demikian pula pendekatan visualnya. Capaian animasinya didominasi warna yang lembut dengan penggambaran karakter yang natural, tidak dilebih-lebihkan seperti film animasi lazimnya. Satu teknik yang mencuri perhatian adalah pergerakan kameranya yang dinamis dan tak terputus, sering kali mengikuti sosok sang kucing (follow shot) dengan ragam perspektif sudut pengambilan. Beberapa kali kita melihat, mata kamera mengikuti pergerakan sang kucing di bawah air hingga ke permukaan tanpa terputus.

Melalui perspektif tokoh dan visual yang unik, Flow memiliki substansi cerita transendental dengan kedalaman makna yang tentu tidak mudah diterima penonton awam. Kedalaman cerita film ini juga mengingatkan pada film-film karya Hayao Miyazaki yang sarat dengan nilai-nilai keharmonisan antara manusia dengan alam. Siapa tahu, Flow bisa mengikuti jejak The Boy and the Heron yang meraih Piala Oscar tahun lalu. Beberapa film animasi populer tercatat memiliki kualitas pencapaian luar biasa tahun ini, sebut saja Inside Out 2, Ultraman Rising, Kung Fu Panda 4, Transformers One, The Wild Robot, belum terhitung Moana 2 dan Mufasa yang akan rilis beberapa minggu lagi. Kita tunggu hasilnya awal tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaYou Will Die in 6 Hours
Artikel BerikutnyaAnak Kolong
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.