Franchise di Industri Perfilman Indonesia.

0

Fenomena franchise di perfilman Indonesia mulai menggeliat sejak era 2000-an. Franchise bermakna film berseri atau satu rangkaian film yang diproduksi dua film atau lebih, yang memiliki kontinuitas cerita atau tokoh dalam kisahnya. Bentuk franchise  bisa bermacam-macam, yakni sekuel, remake, reboot, prekuel, spin-off, dan cinematic universe. Franchise sendiri kini menjadi tren dalam industri perfilman nasional. Tren franchise dipengaruhi oleh strategi marketing dan animo masyarakat yang tinggi. Dalam perkembangan, franchise rupanya juga mampu memberi dampak kepada pengembangan naratif dan sinematik sebuah film.

Berikut adalah gambaran mengenai bentuk franchise di perfilman Indonesia:

Sekuel

Sekuel adalah kisah lanjutan sebuah film yang lazimnya diproduksi karena sukses komersial filmnya.  Kisah cerita di film pertama menjadi pendorong bagi penonton untuk mengetahui kelanjutan kisah dari tokoh utama di filmnya.

Di Indonesia sendiri sekuel amat populer dan banyak film telah menggunakan formula ini. Sebuah contoh ideal beberapa tahun terakhir adalah seri horor laris Danur, yang dimulai dari film perdananya Danur: I Can See Ghost (2017), berlanjut sekuelnya Danur 2: Maddah (2018) dan Danur 3: Sunyaruri (2019). Ketiganya dirilis tiga tahun berturut-turut dan semuanya sukses komersial. Tak lupa juga film Dilan 1990 dan dua sekuelnya yang saat ini dianggap seri paling sukses. Tren sekuel, akhirnya membuat film-film populer di masa lalu juga dibuat sekuelnya. Contoh saja Ada apa dengan Cinta? (2002) dengan sekuelnya Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016), yang baru diproduksi 14 tahun setelah film pertamanya. Begitu pula Ayat- Ayat Cinta (2007), sekuelnya juga baru dibuat 10 tahun kemudian, yakni Ayat-ayat Cinta 2 (2017).

Remake

Remake adalah produksi ulang sebuah film yang dianggap sukses komersial, atau sebuah film yang dianggap memiliki kualitas tertentu dengan menggunakan cerita serta pemain bintang menyesuaikan selera masanya.

Di Indonesia sendiri, satu contoh film remake yang booming adalah film horor Pengabdi Setan (2017) yang disutradarai oleh Joko Anwar. Sang sineas me-remake film berjudul sama Pengabdi Setan (1980) yang disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra. Latar setting cerita, karakter dan permasalahnya pun dikembangkan dan dikemas lebih menghibur dengan tone masa kini. Baru lalu, juga muncul remake film  Ratu Ilmu Hitam (1981) yang dulu diperankan oleh ratu horor Suzzanna. Ratu Ilmu Hitam (2019) memiliki variasi cerita, karakter dan setting yang berbeda, walau tema dan tujuan cerita, mirip dengan film aslinya.

Reboot

Reboot adalah penyegaran dari sebuah franchise yang telah populer, baik dari segi cerita maupun estetik untuk memulai kembali kisahnya dari sesuatu yang baru dari seri aslinya.

Salah satu seri film komedi populer yang tercatat pernah di-reboot adalah Warkop DKI. Kisah Warkop DKI disegarkan kembali dengan kisah dan para pemain yang baru, melalui Warkop DKI Reborn Jangkrik Boss Part 1 dan Part 2 yang disutradarai Anggy Umbara. Kedua film ini masih menyertakan ciri khas Warkop aslinya dan memasukkan elemen komedi sebagai tribute film lawasnya, sebut saja Setan Kredit (1980), IQ Jongkok (1981), dan CHIPS (1982)

Baca Juga  Hal-Hal Yang Dibenci Saat Nonton Film di Bioskop

Prekuel

Berbeda dengan sekuel, prekuel adalah kisah awal yang terjadi sebelum peristiwa pada seri pertamanya. Lazimnya prekuel diproduksi setelah sebuah film telah populer dan memiliki beberapa sekuel.

Sebagai contoh di perfilman Indonesia yang menggunakan formula ini adalah Rudy Habibie (2016). Film ini diproduksi setelah Habibie & Ainun (2012) sukses komersial. Kisah cerita prekuel biasanya memang ditunggu para fansnya, untuk mengetahui atau menjawab rasa penasaran tentang asal usul seorang tokoh di seri pertamanya. Dalam Rudy Habibie menceritakan tentang sosok Habibie sewaktu muda, atau berkisah tentang sosok Habibie sebelum peristiwa yang terjadi dalam Habibie & Ainun.

Spin-off

Spin-off adalah pengembangan kisah atau alternatif cerita yang tokoh utamanya berbeda dari seri aslinya. Spin-off lazimnya diproduksi setelah sebuah franchise telah populer dan sukses secara komersial.

Film spin-off pertama di Indonesia diperkenalkan melalui film horor, Asih (2018), yang mengambil kisah tentang sosok antagonis Asih yang ada dalam kisah Danur: I Can See Ghost. Di tahun yang sama, muncul pula film spinoff  Milly dan Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018) yang merupakan kisah pengembangan dari seri Ada Apa Dengan Cinta? Sesuai judulnya, film ini mengambil kisah sosok Milly dan Mamet yang merupakan tokoh pendukung dalam seri film Ada Apa dengan Cinta?

Cinematic Universe

Cinematic universe atau semesta sinematik adalah pengembangan seri yang mengkombinasikan banyak film dengan banyak tokoh dalam satu dunia cerita yang sama.

Salah satu contoh solid dan sukses adalah Marvel Cinematic Universe yang merintis melalui Iron Man pada tahun 2008 hingga Avenger: Endgame (2019). Di Indonesia sendiri, semesta sinematik masih sangat baru. Film yang mencoba merintis konsep cinematic universe adalah Gundala (2019) karya sutradara Joko Anwar. Gundala merupakan adaptasi komik superhero berseri “Bumi Langit” yang telah populer di masyarakat Indonesia pada era 1980-an. Maka, konsep cinematic universe yang dikembangkan dinamakan pula “Jagat Sinema Bumi Langit”. Konon, akan ada film selanjutnya setelah Gundala, yang menampilkan para superhero, seperti Sri Asih, Dewi Api, Godam, serta belasan lainnya. Sosok Sri Asih sudah muncul dalam Gundala, kita tunggu saja pengembangan film selanjutnya.

Demikian, di atas adalah beberapa bentuk film seri atau franchise yang populer di Indonesia. Contoh-contoh film lainnya amat banyak yang sepertinya hingga kini masih didominasi genre horor. Kita harapkan semua franchise ini, ke depannya tidak semata hanya memandang profit, namun juga mampu menjaga kualitas filmnya. Semoga sinema Indonesia semakin berjaya dan tak kalah dengan film-film luar.

Sumber:

Memahami Film Edisi-2, Himawan Pratista, 2017

30 Film Indonesia Terlaris, Montase Press, 2018.

Artikel SebelumnyaSuperioritas Superhero DC Animasi
Artikel Berikutnya3 Rekomendasi Drama Korea Adaptasi Serial Barat
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.