Glass (2019)
129 min|Drama, Horror, Sci-Fi|18 Jan 2019
6.6Rating: 6.6 / 10 from 286,705 usersMetascore: 43
Security guard David Dunn uses his supernatural abilities to track Kevin Wendell Crumb, a disturbed man who has twenty-four personalities.

Setelah sukses komersial Split (2016), kita baru menyadari bahwa sang kreator, M. Night Shyamalan mencoba memadukan kisah thriller ini dengan film superhero unik terdahulunya, Unbreakable (2000). Entah memang ini sudah terkonsep sejak awal atau tidak, bukan menjadi masalah. Semesta sinematik atau cinematic universe kini memang tengah panas-panasnya, mengapa tidak? Kisahnya berlanjut dalam Glass.

Glass masih ditulis dan disutradarai oleh Shyamalan yang diproduserinya pula bersama Jason Blum. Sang sineas mampu mengkasting para bintang dua film pendahulunya, yakni Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Spencer Treat Clark yang bermain dalam Unbreakable, serta James McAvoy, Anya Taylor-Joy dalam Split, dan tambahan aktris Sarah Paulson. Dengan berbekal bujet hanya US$ 20 juta, rasanya film ini bakal tak sulit untuk meraih sukses komersial, namun pencapaian kisah dan estetiknya sendiri bagaimana?

Dikisahkan sang pahlawan misterius Kota Philadelphia, David Dunn (Willis), sejak dua dekade lalu masih saja beraksi menjadi pemberantas kejahatan, dan kini malah dibantu sang putra, Joseph. Sementara sang psikopat multi-personal, Kevin Wendell Crumb, masih saja melakukan hobi lamanya, tak tanggung-tanggung, kini ia menculik 4 gadis remaja sekaligus. David yang menyelidiki kasus ini, tanpa sengaja menemukan petunjuk di mana mereka berada yang memaksanya untuk berhadapan dengan sosok “The Beast”. Tanpa diduga, mereka berdua dijebak oleh otoritas dan disekap dalam oleh satu institusi yang tertarik dengan kemampuan “super” mereka.

Satu masalah besar film ini terkait plotnya adalah dua film sebelumnya. Penonton yang belum memahami benar kisah Unbreakable dan Split dijamin bakal mengalami kesulitan untuk mengikuti kisahnya kali ini. Detil kisah dua film sebelumnya, banyak menjadi bagian penting dari film ini. Sekalipun menggunakan teknik kilas-balik, namun apa yang disajikan justru menjelaskan banyak hal yang tak ada dalam plot dua film sebelumnya. Memahami kisah Unbreakable dan Split sebelum menonton Glass adalah sebuah keharusan. Fans dua film ini bakal menikmati filmnya lebih baik dari penonton awam. Sekalipun, ini tetap tak bisa menjelaskan klimaks “absurd” pada penghujung kisahnya.

Baca Juga  Shark Bait

Boleh saya bilang, film ini hanya berhasil pada kisah dua babak awalnya saja, sekitar ¾ durasi film. Shyamalan begitu cerdas memadukan dua kisah filmnya sehingga tokoh-tokoh dalam Split mampu bekerja sempurna untuk masuk dalam plot Unbreakable. Tema “superhero” masih menjadi pokok masalahnya. Mr. Glass atau Elijah Price masih berambisi untuk membuktikan kebenaran teorinya bahwa sosok manusia super itu eksis. Glass dengan otak jeniusnya mampu menggerakan plot ke arah klimaks yang diharapkan penonton, yakni David vs The Beast. Semua proses cerita ini disajikan begitu brilian dengan latar belakang masing-masing tiga tokoh utamanya yang ternyata saling berkaitan. Tidak hingga satu penutup konyol merusak semuanya.

Apa yang sebenarnya ingin dituju sang sineas dengan ending seperti itu? Semua terlihat sangat memaksa, dan mengapa satu kelompok misterius di penghujung tidak dikisahkan sebelumnya? Satu adegan kecil di segmen akhir, jelas tidak mampu menjelaskan semua. Tak ada poin yang jelas, kisahnya akan mengarah ke mana karena semua serba tak jelas. Saya sempat berpikir jika sang kreator akan menghubungkan Glass dengan film-film garapannya yang lain. (Huff, ini tentu bisa bakal menjadi poin plus filmnya). Nyatanya tidak.

Glass merupakan sebuah kombinasi dan proses kisah yang menarik dari tiga sosok “super” kreasi M. Night Shymalan, hanya saja penutup kisahnya yang “absurd” merusak segalanya. Satu kelemahan ini membuat semua pencapaian akting para pemainnya yang sangat baik menjadi sia-sia. Tiga film ini (khususnya Unbreakable), sebenarnya memiliki potensi kisah yang besar dan segar untuk pengembangan genre superhero. Kita semua memuja sosok pahlawan super dan kita butuh mereka sebagai simbol harapan di dunia yang kini tak jelas batasan antara hitam dan putih. Satu dialog manis, terlontar dalam satu adegan ketika Hedwig bertanya pada Glass, “apa kekuatan superku?”, jawabnya, “Selamanya berumur 9 tahun adalah anugerah karena kamu melihat dunia seperti apa adanya”. Glass bisa jadi bermaksud demikian, namun pesan mulia film ini dimatikan sendiri oleh sang sineas.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaEscape Room
Artikel BerikutnyaTake Point
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.