Take Point (2018)
119 min|Action, Thriller|26 Dec 2018
5.4Rating: 5.4 / 10 from 1,541 usersMetascore: N/A
A captain and his team of 12 soldiers infiltrate a secret underground bunker to take out a target in the Korean demilitarized zone.

Saat ini perfilman di Korea Selatan tengah berkembang pesat. Banyak film-film yang menjadi sorotan dunia lantaran mampu membawa angin segar bagi dunia perfilman, contoh saja Train to Busan (2016) atau A Day (2017). Tak heran jika studio produksi asing mulai tertarik untuk berkolaborasi dengan industri film Korea, seperti Swing Kids dan Take Point. Take Point atau PMC: The Bunker merupakan film arahan Kim Byung-woo. Film ini diperankan oleh Ha Jung-woo, Lee Sun-kyun, dan lebih dari separuhnya adalah pemain-pemain asing, diantaranya Jennifer Ehle dan Kevin Durand.

Bercerita tentang sekelompok tentara bayaran yang ditugaskan untuk memboikot pertemuan dan menculik seorang petinggi Korea Utara di sebuah bunker. Dalam perjalanannya, keadaan berbalik memojokkan mereka, yang berujung pada perjuangan bertahan hidup di dalam bunker dengan ancaman terkubur hidup-hidup.

Bagian pembuka berisi informasi yang melatar belakangi cerita filmnya. Informasi yang saling bersahutan di awal, tidak memberi gambaran yang jelas dan justru sedikit membingungkan. Banyaknya informasi cerita yang masih belum mampu dicerna oleh otak, namun penonton sudah dijejali informasi baru. Belum lagi kejanggalan demi kejanggalan mulai muncul satu per satu, terutama karena faktor setting yang terbatas di dalam sebuah “bunker”.

Plot film ini tidak memberikan gambaran yang jelas tentang setting cerita karena hampir keseluruhan adegan mengambil lokasi di dalam ruangan tanpa kita mengetahui bagaimana bentuk eksterior bangunannya. Tak jelas, di mana letak pintu masuk dan keluar, dan berapa jumlah lantai di dalamnya. Penonton hanya mengikuti alur plot dari sosok tokoh utama serta mengawasi ruangan menggunakan monitor berupa denah bunker yang digambarkan memiliki banyak lorong. Satu hal yang absurd adalah ketika sebuah tank tiba-tiba muncul, empat lantai di bawah tanah, yang di atasnya sudah porak poranda karena serangan bom dari luar. Belum lagi lorong-lorong yang begitu kecil, mustahil untuk dilewati sebuah tank, lalu dari mana kendaraan besi tersebut masuk? Kejanggalan-kejanggalan seperti ini dan banyak lagi yang membuat seluruh filmnya menjadi tak masuk akal.

Baca Juga  Peach Girl

Semua aksi baku tembaknya ditampilkan serba cepat dan tanpa henti. Penggunaan handheld camera yang dominan sepanjang film amat melelahkan untuk ditonton di layar bioskop, seolah kita tengah bermain video game, macam Counter-Strike: Global Offensive atau Point Blank di layar yang sangat besar.

Film ini hanya menonjolkan sosok utama yang diperankan Ha Jung-woo sebagai Ahab. Kebanyakan film aksi sejenis memiliki tokoh layaknya “superhero”, yang akan terus bangkit meski telah terluka parah, namun berbeda dengan karakter Ahab. Sosoknya mengingatkan saya pada Dwayne Johnson dalam film Skyscraper, mantan agen dengan kaki mekanik. Sosok Ahab yang fisiknya cacat sejak sepertiga film, membuat tokoh ini bertugas hanya memonitor anggota timnya. Ia hanya bertahan hidup seorang diri, dan mempertahankan nyawa timnya.

Bagi yang menyukai aksi baku tembak layaknya video game, mungkin kamu akan menyukai Take Point. Namun, dengan banyaknya kejanggalan cerita terutama pada setting membuat ceritanya terasa sangat tak masuk akal. Unsur aksi ketegangan mendominasi tanpa henti membuat penonton tak sempat memikirkan detail plot cerita, apalagi berempati untuk para tokohnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaGlass
Artikel BerikutnyaPreman Pensiun
Luluk Ulhasanah atau lebih akrab dipanggil EL, lahir di Temanggung 6 September 1996. Sejak kecil hobi menonton film dan menulis. Minatnya pada film membuat ia bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2016 dan mulai beberapa kali terlibat produksi film pendek, dan aktif menulis review film, khususnya rubrik film Asia. Pada bulan Desember 2017, ia menjadi juri mahasiswa dalam ajang festival film internasional, Jogja Asian Film Festival (JAFF Netpac) 2017. Ia juga salah satu penyusun dan penulis buku 30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.