highest 2 lowest

Highest 2 Lowest adalah remake modern dari High and Low (1963) karya sineas legendaris Jepang, Akira Kurosawa. Remake-nya digarap oleh sineas kawakan, Spike Lee yang menjadi kolaborasi sekian kalinya dengan aktor Denzel Washington. Film thriller kriminal ini juga dibintangi oleh Jeffrey Wright, Ilfenesh Hadera, ASAP Rocky, John Douglas Thompson, serta Dean Winters. Bermodal sumber, sineas, dan sang aktor, akankah film rilisan Apple TV+ ini mampu memberi ekspektasi tinggi bagi fans genrenya?

Alkisah David King (Washington) adalah produser legendaris yang melahirkan para penyanyi top dunia. Ia tinggal di puncak gedung yang megah dan mewah bersama istri (Hadera) dan putranya, Trey. Asisten setia King yang seorang muslim, Paul (Wright) memiliki putra bernama Kyle yang bersahabat dengan Trey. Suatu ketika, Trey diculik dan si penculik meminta tebusan USD 17,5 juta. Dalam perkembangan, rupanya sang penculik salah menculik korbannya, bukan Trey justru malah Kyle yang disekap. King pun mengalami dilema, akankah ia bersedia mengorbankan segalanya demi putra sang sahabat?

High and Low arahan Kurosawa adalah satu kisah unik di antara karya masterpiece sang sineas. Seperti halnya Denzel, Toshiro Mifune adalah aktor reguler sang sineas. Alih-alih berperan sebagai samurai jagoan, di sini ia berperan sebagai seorang pengusaha kaya. Inti kisahnya senada, hanya saja High and Low lebih terlihat plotnya sebagai proses SOP polisi dalam menangani aksi penculikan. Sementara Highest 2 Lowest justru lebih berat ke sisi drama keluarga dan persahabatan. High and Low lebih detil dalam proses aksinya dan sama-sama menyinggung ketimpangan sosial. Walau film remake-nya kisahnya lebih gamblang dan tak sulit diantisipasi.

Satu catatan menarik adalah pendekatan estetiknya. Sang sineas banyak memberikan tribute film aslinya dan gaya estetik Kurosawa. Rumah mewah sang pengusaha di puncak bukit digantikan dengan gedung tinggi dengan gaya arsitektur unik yang memperlihatkan penthouse milik King. Walau untuk masanya, visualisasi ketimpangan sosial lebih menggigit dalam film aslinya. Nyaris separuh adegan awal juga didominasi adegan interior penthouse, senada dengan film aslinya yang malah didominasi dalam satu ruangan. Lee juga menggunakan gaya transisi Kurosawa, wipe, dalam beberapa pengadengannya dengan cara yang unik. Juga pada segmen akhir yang menggunakan teknik split screen, memisah protagonis dan antagonis.

Baca Juga  Bad Boys: Ride or Die

Di luar kebiasaan Spike Lee, kisahnya terasa terlalu klise dengan dialog-dialog ringan yang terkadang terasa membodohi penonton. Sang antagonis terlihat seperti seorang bocah ketika berhadapan dengan King dan sama sekali tidak mengesankan sebagai sosok yang mampu membuat rencana aksi demikian matang dan brilian (hingga membodohi polisi). Lagipula, penculik mana yang menggunakan suaranya sendiri untuk berbicara dengan korbannya. Dalam satu momen, ketika kawanan penculik mengerem darurat kereta KRL, bagaimana bisa tas yang dibawa King tersebut jatuh persis ke pengkuan sang penerima? Saya pikir setelah aksinya, sang penculik juga bakal lari ke Karibia atau entah ke mana. Bahkan lari dari rumah pun tidak. Untuk poin ini, kisah film aslinya jauh lebih brilian dan masuk akal.

Highest 2 Lowest adalah sebuah remake lemah melalui naskah dan dialog yang gamblang sekalipun didukung aktor kawakan selevel Denzel Washington dan sisi musiknya yang atraktif. Kisahnya kini juga menyelipkan isu keberagaman melalui sosok Paul yang seorang muslim. Entah mengapa, saya melihat ini terlalu dipaksakan. Seorang berkulit hitam, muslim, dan eks napi pula. Ia memiliki senjata api dan terlihat akrab dengan kekerasan (masa lalunya). Walau di kisahnya, aksi-aksi Paul tidak diperlihatkan (mungkin sang sineas tidak berani mengambil resiko). Walau berbeda latar kepercayaan pun, status sosial Paul telah mewakili semua karakternya. Highest and Lowest jelas bukan film yang buruk, tetapi jelas bukan terbaik di genrenya, terlebih jika dibandingankan film aslinya. Musik yang menjadi jiwa (kisahnya) secara literal mendominasi nyaris seluruh pendekatan estetik filmnya. Justru ini yang menjadi kekuatan dan nilai lebih remake-nya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Exit 8 | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses