Jogja – NETPAC Asian Festival (JAFF) merupakan ajang festival film Asia yang telah berlangsung rutin sejak empat tahun terakhir. Perhelatan besar ini berlangsung pada tanggal 4-8 Agustus 2009 baru lalu. Seperti yang telah lalu, JAFF 2009 kembali bertempat di Kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan kali ini mengambil tema homeland. Film-film kita yang diputar di ajang ini antara lain, Merantau, Generasi Biru, Blind Pig Who Wants to Fly, Cin(T)a, serta beberapa film lain. Sementara film-film asing, antara lain The Goat ( Filipina), Agrarian Utopia (Thailand), Ponmani (Sri Lanka), Good Cat (Malaysia), Invisible Children (Singapura), serta Route 181 (Palestina). Selain di dua tempat tersebut juga diadakan open air cinema di beberapa lokasi seperti Kampung Badran, Kampung Gendingan, dan Omah Opak.
Acara pembukaan dibuka pukul 19.00 wib di gedung TBY dengan suasana cukup meriah. Sekitar 300-an orang memadati acara pembukaan festival tersebut. Film silat Merantau menjadi film pembuka JAFF. Acara dihadiri oleh Garin Nugroho, (Presiden JAFF), Ifa Isfansyah (Sutradara Garuda Di Dadaku), Gareth Huw Evans (Sutradara Merantau), dan Iko Uwais (Aktor utama Merantau). Kami sendiri tidak menonton filmnya karena tidak mendapatkan tiket. Menurut informasi panitia tiket telah habis sejak pukul 10.00 pagi.
Hari kedua di kompleks TBY pada pukul 09.00 WIB diadakan seminar International JAFF 2009 dengan tema “Dream of A Nation: Cinema, Identity, and Nationalism” dengan para pembicara Dharmasena Phatiraja (sutradara kawakan Srinlanka), Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), serta Paolo Bertolin (Anggota Komite Pemilihan Venice Film Festival) dan Garin Nugroho. Pada pukul 13.00 di tempat yang sama diputar film drama yang mengangkat isu kasta, Ponmani (1978) karya Dharmasena Phatiraja. Sungguh tidak diduga pemutaran film ini hanya disaksikan oleh puluhan penonton saja padahal sang sineas sendiri hadir disana. Berbanding terbalik dengan pemutaran selanjutnya pada pukul 15.00 WIB yakni Cin(T)a, satu isi gedung full house.
Hari ketiga bertempat di TBY, kami mengikuti workshop dengan topik Global Fund : Rise, Deal, Shine! dimulai pada pukul 15.00 WIB. Peserta yang hadir cukup banyak, diikuti para pembuat film independen dari berbagai daerah. Acara dibuka oleh presiden JAFF Garin Nugroho dengan narasumber Meiske Taurisia (produser Blind Pig Who Wants to Fly), Tumpal Tampubolon (produser dan sutradara Last Believer) dan Ifa Isfansyah. Mereka menceritakan pengalaman, suka duka, serta kitat-kiat dalam mencari dana dari luar untuk produksi film mereka. Setelah acara tersebut kami menyempatkan berbincang dengan presiden JAFF, Garin Nugroho disela kesibukannya. Garin merasa gembira karena JAFF kali ini sukses diramaikan pengunjung dari berbagai daerah dan juga mancanegara. Ia juga mengatakan bahwa JAFF tahun depan berniat mengadakan workshop tentang bagaimana media jurnalistik film mencari sponsor dan dana untuk pembiayaan operasionalnya.
Pukul 17.00 WIB kami telah berada di LIP untuk menonton film kedua garapan Dharmasena Pathiraja, yakni On the Run. Namun anehnya pemutaran film sebelumnya, yakni Route 181 belum selesai ditayangkan. Amat disayangkan, pihak panitia kurang mengantisipasi durasi waktu film tersebut sehingga jadwal pemutaran film menjadi molor. Hingga pukul 17.30 WIB, film tersebut belum selesai diputar padahal kami merencanakan menonton film Blind Pig Who Wants Fly yang berlokasi di TBY pada pukul 19.00 WIB. Akhirnya kami memutuskan melewatkan film On the Run dan pergi ke TBY. Penantian panjang kami rupanya tidak percuma. Film semi-abstrak Blind Pig Who Wants Fly arahan Edwin ternyata adalah sebuah film yang istimewa. Garin sendiri sebelumnya sempat berujar pada kami jika film ini adalah salah satu film terbaik Indonesia. Selesai pemutaran juga ada sesi diskusi dengan produser filmnya, Meiske Taurisia namun sayang sutradaranya tidak hadir. Meiske memaparkan suka-duka sewaktu memproduksi film ini bersama sang sutradara.
Hari keempat sekitar pukul 10.00 WIB kami berada di TBY untuk melihat suasana pemutaran di sana. Kami sengaja mengincar film ketiga Dharmasena Pathiraja, The Wasp are Here (1978) karena kami melewatkan film kedua yang diputar kemarin. Pukul 13.00 WIB kami berada di LIP melihat pemutaran film tersebut dan sayangnya film ini kembali hanya ditonton segelintir orang saja. Sungguh berbeda dengan malam harinya ketika pemutaran film Cin(T)a pada pukul 19.00 WIB satu isi gedung auditorium LIP full house.
Hari kelima bertempat di kafé Indraloka, Sagan, pada pukul 10.00 WIB kami diundang dalam acara bincang dan konfrensi pers resmi tentang pemenang JAFF. Acara dihadiri Garin Nugroho ( Presiden JAFF), Budi Irwanto (Direktur JAFF ), bersama juri-juri lainnya, serta Christine Hakim. Aktris kawakan ini dianugerahkan penghargaan khusus JAFF Indonesian Culture Heritage atas jasa-jasanya mengembangkan warisan budaya Indonesia melalui film. Penghargaan khusus juga diberikan kepada mendiang Yasmin Ahmad untuk pengabdiannya terhadap perfilman Asia dan Malaysia khususnya. Acara kemudian diteruskan dengan pengumuman pemenang JAFF oleh perwakilan juri, yakni Eric Sasono, Paolo Bertolin, Idha Saraswati, dan Ridla An Nuur, Hasilnya adalah sebagai berikut: Penghargaan Silver Hanoman untuk Slingshot Hip Hop (Palestina), Golden Hanoman untuk Agrarian Utopia (Thailand), Geber Award untuk The Goat (Filipina), Blencong Award untuk A La Folie ( Singapura) serta penghargaan NETPAC Award kembali untuk film Agrarian Utopia. Pukul 17.30 wib kami sudah berada di TBY untuk meliput acara penutupan JAFF namun acara baru dimulai pukul 19.30 WIB. Acara dimulai dengan pengumuman pemenang serta pembagian piala JAFF dan penghargaan khusus untuk Cristine Hakim dan Paolo Bertolin. Acara ditutup manis dengan pemutaran film dokumenter Palestina, Slingshot Hip Hop. Sebagai penutup diadakan pula acara musikal di area TBY yang tampak cukup meriah.
Kami melihat penyelenggaran JAFF 2009 kali ini lumayan sukses dimana animo rekan pecinta dan pemerhati film di Jogjakarta cukup besar dan rekan-rekan dari luar jogja juga antusias hadir, seperti komunitas film dari Jakarta, Bali, Bandung, Riau dan lainnya. Sudah sepatutnya rekan-rekan khususnya peminat film, apalagi mereka yang menempuh studi di bidang film atau komunikasi, tidak melewatkan momen besar seperti ini.
Panitia sendiri cukup kooperatif dan ramah dalam memberikan informasi dan sebagian besar adalah mahasiswa (sukarelawan) dari berbagai disiplin ilmu. Agak aneh juga sewaktu kami menanyakan kepada panitia siapa sutradara dari film Cin(T)a mereka tampak kebingungan? Seyogyanya panitia menonton dulu film-film yang akan diputar di acara ini, semacam screening khusus panitia sekaligus untuk mencek filmnya sehingga kasus seperti film Route 181 pada hari ketiga tidak perlu terjadi.
Kami merasa heran animo pengunjung JAFF selalu full house pada pemutaran film-film Indonesia sedangkan untuk film-film asing biasanya hanya disaksikan puluhan orang saja. Padahal menonton film apapun di ajang ini gratis. Lain halnya dengan acara penutupan yang memutar film dokumenter Slingshot Hip Hop, satu gedung terisi penuh. Akhir kata selamat tinggal JAFF 2009 dan kita tunggu JAFF 2010. Sukses pada seluruh panitia untuk kerja kerasnya. Kita majukan perfilman Indonesia untuk menjadi lebih baik.
Bagus Pramutya