The Way of the Dragon (1972)
90 min|Action, Adventure, Comedy|14 Aug 1972
7.2Rating: 7.2 / 10 from 41,811 usersMetascore: 58
A country bumpkin martial artist visits his relatives in Rome, Italy, where he must defend them and their restaurant against harassment from brutal gangsters.

The Way of The Dragon (1972) merupakan film ketiga Bruce Lee sekaligus menjadi debut sutradaranya. Kontrol penuh didapat Lee termasuk menulis naskahnya sendiri hingga penata laga. Film yang diproduseri Raymond Chow (Golden Harvest) ini dibintangi aktris cantik Nora Miao, Wang Chung-Hsin serta bintang tamu, juara karate asal Amerika, Chuck Norris yang juga adalah murid Lee.

Alkisah pemuda desa jago kung-fu, Tang Lung (Lee) mendapat amanah dari pamannya untuk membantu usaha restoran Cina rekannya yang kini dikelola keponakannya, Chen Ching Hua (Miao) di Roma, Italia. Restoran tersebut diteror para preman karena Chen menolak tawaran Robert, seorang bos mafia setempat yang ingin membeli restoran tersebut. Tang Lung suatu kali berhasil mengusir para preman keluar namun bos mafia belum mau menyerah. Ketika usaha untuk menyingkirkan Tang Lung berulang-kali gagal, sang bos akhirnya menyewa Colt (Norris), seorang juara Karate Amerika untuk menghabisi Tang Lung.

Entah bisa jadi karena film ini diproduksi di Italia namun nyatanya nuansa western (spaghetty western) terasa begitu kental baik dari sisi cerita maupun pencapaian teknis. Plotnya murni diambil dari plot konvensional western lengkap dengan duel klimaks sang jagoan dengan musuhnya di akhir cerita. Uniknya, sekalipun film aksi laga namun tidak serta merta semua adegan berujung (memaksa) pada aksi perkelahian. Tercatat adegan laga baru muncul setelah durasi sekitar setengah jam. Pada satu adegan awal, Lee (sineas) berusaha memancing reaksi penonton ketika Tang Lung didaulat anak buah Chen untuk mendemonstrasikan kung-funya namun nyatanya tidak ia lakukan. Efeknya sungguh luar biasa bagi penonton ketika Tang Lung benar-benar menunjukkan kehebatannya. Satu lagi keunikan film ini adalah selera humornya yang tinggi. Dalam sekuen pembuka, Lee berlama-lama dengan karakter Tang Lung ketika perutnya lapar saat ia menanti jemputan. Tang Lung yang hanya bisa bahasa mandarin sama sekali tidak mengetahui apa yang ia pesan di restoran. Sentuhan humor disisipi hampir dalam semua adegannya termasuk aksi laga sehingga film ini tidak pernah terasa membosankan.

Baca Juga  Bleeding Steel

Satu hal yang menjadi andalan dan kekuatan film ini jelas adalah aksi laganya. Lee memperlihatkan kemampuannya berolah kung-fu, baik tangan kosong, menggunakan tongkat, dan double stick melalui pesona dan karismanya yang khas. Unsur komedi menjadi bumbu yang pas menyelingi adegan aksi laganya. Dalam aksi pertarungan Lee kadang juga menambahkan efek suara tak lazim layaknya arena sirkus seperti “boing” atau “dung” tatkala musuh-musuhnya terkena pukulan atau tendangan Tang Lung. Adegan laga paling berkesan tentunya adalah laga klimaks antara Tang Lung dengan Colt. Pertarungan guru dan murid ini konon banyak dianggap pengamat sebagai adegan pertarungan tangan kosong terbaik yang pernah ada. Aksi membalik jempol juga merupakan satu aksi yang paling banyak ditiru dalam banyak film setelah ini. Satu hal yang tak lazim adalah Lee menyisipkan beberapa kali shot kucing yang tengah menonton keduanya berduel. Pada duel klimaks ini nuansa western juga tampak kental terutama pada aspek sinematografi dan editing. Pada shot penutup tampak sang jagoan berjalan menjauh seorang diri menyongsong petualangan selanjutnya. The Way of the Dragon merupakan karya terbaik Lee yang tidak hanya menampilkan karismanya sebagai seorang ahli beladiri namun juga aktor serta sineas yang handal.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaThe Killer, Aksi Brutal ala John Woo
Artikel BerikutnyaSekilas Sinema Hong Kong
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.