Note: Ulasan ini mengandung Spoiler!

Film-film produksi Iran sudah kita kenal malang melintang di festival film bergengsi di dunia dan menjadi salah satu kekuatan sinema terbesar di Asia. Kini satu lagi, My Favourite Cake adalah film produksi Iran yang digarap oleh Maryam Moghaddam dan Behtash Sanaeeha dengan dibintangi dua aktor gaek lokal, Lily Farhadpour serta Esmail Mehrabi. Film berdurasi 97 menit ini, tahun ini telah meraih penghargaan tinggi di Berlin International Film Festival serta Chicago International Film Festival. Bersama film Iran berkelas lainnya, The Seed of the Sacred Fig, My Favourite Cake juga diputar dalam ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2024 awal bulan lalu.

Mahin (Farhadpour) adalah seorang perempuan tua yang kini tinggal sendiri di rumahnya di Tehran. Suaminya telah meninggal tiga dekade lalu, lalu dua putrinya bersama keluarganya tinggal di negara lain. Hari-harinya diisi dengan rutinitas di rumah yang membosankan serta kadang berkumpul dengan rekan-rekan seumurnya. Suatu ketika, Mahin memutuskan untuk pergi keluar dan tanpa sengaja bertemu seorang laki-laki tua berprofesi sopir taksi di sebuah restoran. Mahin pun berniat untuk mengenal lebih dekat dengan lelaki tersebut dengan berdalih mengantarnya ke rumah. Siapa sangka, lelaki bernama Faramarz (Mehrabi) tersebut menangkap sinyal Mahin dan mereka pun akhirnya bisa berduaan di rumah. Mereka menikmati malam yang indah tanpa menyadari sebuah tragedi memilukan yang bakal terjadi.

Film-film Iran sudah kita kenal dengan tema politik yang menyorot rezim penguasa (pasca Revolusi Iran) yang memberangus kebebasan rakyat dengan pedoman agama sebagai landasan utama. Film-film berkualitas tinggi, sebut saja Taxi, Persepolis, A Separation, hingga Hero menyajikan ini secara tegas, bagaimana penguasa melalui aparat dan penegak hukum mengintimidasi warganya. Rakyat hidup dalam tekanan dan memilih untuk tidak berurusan dengan aparat hukum, apa pun bentuknya. Tak jarang pula kita mendengar, para pembuat filmnya masuk dalam daftar hitam, dicekal, masuk bui, hingga lari ke luar negeri.

Hal senada juga tampak dalam My Favourite Cake. Pada sebuah adegan di taman kota, secara gamblang terdapat satu adegan di mana seorang polisi moral mencoba menangkap para perempuan yang melanggar aturan berhijab dan sikap protagonis yang membela mereka. Adegan ini memang bisa kita rasakan agak memaksa, namun sang pembuat film rupanya membutuhkan ini untuk menegaskan temanya. Sesungguhnya, tanpa adegan ini pun, kita semua sudah tahu benar, kisahnya bakal mengarah ke mana.

Baca Juga  Kung Fu Panda

Sejak pembuka, nuansa drama sudah kita rasakan melalui eksposisi sang protagonis yang kesepian dengan dominasi shot-shot statisnya. Kisahnya mendadak berubah romantis ketika Mahin bertemu Faramarz yang secara perlahan dan rinci memperlihatkan kedekatan mereka yang semakin intim. Obrolan ringan dan rayuan gombal mulai terlontar, tak luput dari alkohol yang mereka teguk. Gairah mereka rupanya mampu menenggelamkan rasa takut mereka pada polisi moral serta tetangga sebelah yang rewel, bersuamikan seorang loyalis pemerintah. Adegan-adegan manis ini pun didukung penuh setting interior dan eksterior, serta pencahayaan yang hangat.

Hanya dalam satu momen kecil, semuanya berubah drastis menjadi sebuah “horor thriller”. Elemen horor pun tak luput digunakan hingga shot penutup. Kamera mendadak bergerak tak wajar, secara perlahan menyisir seluruh ruangan, seolah penonton diajak bersiap menghadapi satu kejutan besar (jump scare). Musik mencekam pun terdengar seiring kamera yang bergerak lambat memutari ruangan hingga 360˚  memperlihatkan kepanikan Mahin. Aksi horor pun berlanjut ketika sang protagonis menarik sang mayat ke liang lahat dan menguburnya di halaman rumahnya. Shot pun ditutup dengan tak biasa dan boleh saya bilang “menakutkan”, memperlihatkan sosok Mahin dari arah belakang dengan kamera yang bergerak lambat ke depan.

Melalui topik tipikal film-film Iran, My Favourite Cake mengeksplorasi kisahnya dengan segar melalui karakter unik serta perpaduan drama, roman, dan “horor” berkelas. Tema pun tidak jauh dari film-film Iran “anti penguasa” sebelumnya. Tak ada solusi karena hal ini memang mustahil dilakukan. Bahkan untuk hanya sekadar memilih “kue kesukaan” kita. Plotnya semata menyajikan bagaimana satu ke”khilaf”an kecil, berujung sebuah tragedi yang amat mengerikan. My Favourite Cake mampu bekerja dengan brilian menyuguhkan sentuhan humanis yang bisa kita rasakan secara maksimal di tengah temanya yang berada di kutub berseberangan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaSquid Game – S2
Artikel BerikutnyaWallace & Gromit: Vengeance Most Fowl
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.