My Last Love (2012)
88 min|Drama|19 Jan 2012
6.2Rating: 6.2 / 10 from 23 usersMetascore: N/A
Angel (Donita) percaya bahwa cinta sejatinya adalah Hendra (Ajun Perwira). Laki-laki pilihan terbaiknya. Angel malah berkhayal suatu saat kelak hubungan kasih yang telah cukup lama mereka jalin berhiaskan kesetiaan, akan berujung ...

Film ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Martin (Evan Sander) yang secara tak sengaja menabrak seorang gadis bernama Angel (Donita). Martin melarikan diri karena takut ditangkap polisi sementara Angel divonis lumpuh kedua kakinya. Martin setiap hari dihantui rasa bersalah dan untuk menghilangkan traumanya akhirnya ia memutuskan untuk menenangkan diri di villa milik keluarganya. Angel makin frustasi ketika sang pacar pergi dan akhirnya ia diajak sahabatnya untuk berlibur ke villa. Tanpa sengaja Martin dan Angel bertemu karena villa yang mereka tempati saling berdekatan. Martin tahu Angel adalah gadis yang ia tabrak. Namun, kondisi ini tak membuat Martin menjauh dari sang gadis justru ia malah berniat menebus kesalahannya. Mereka berdua menjadi semakin dekat dan saling menyukai satu sama lain.

Kisah film ini terinspirasi dari novel berjudul “My Last Love” karya Agnes Davonar. Sang sineas seperti kita telah ketahui telah bepengalaman menggarap melodrama yang menguras air mata penonton remaja sejenis ini, seperti Cinta Pertama, Kangen, dan Butterfly. Sang sineas mencoba membangun dengan sabar kesinambungan cerita serta konflik demi konflik namun hasilnya masih kurang terasa. Konfliknya terlalu dangkal dan kurang digali lebih dalam. Kasus seperti ini sudah terlalu sering kita jumpai di sinetron-sinetron kita yang sering memaksakan adegan tanpa sebuah argumen yang cukup. Hal ini tampak dari klimaks film ini yaitu ketika seorang tokoh utama mendadak jatuh sakit. Sebuah tragedi yang memilukan. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan filmnya? Takdir atau karma? Boleh jadi kisahnya memang ada benarnya bagian dari kenyataan hidup namun apakah tidak terlalu pesimis untuk tontonan remaja. Remaja kita rasanya butuh sesuatu yang lebih dari sekedar hanya tontonan yang menguras air mata. They need hope not regret.

Dari pencapaian teknis, setting di villa tercatat adalah yang cukup berhasil untuk menambah nuansa romantis antara Martin dan Angel. Dari sisi akting terlihat kedua bintang utama bermain sangat kaku hingga karakter Martin dan Angel tidak memiliki chemistry yang sepatutnya. Namun film ini cukup tertolong dengan ilustrasi musik melankolis yang cukup pas dan menyatu dengan adegan-adegannya. Instrumen piano yang mendominasi film ini sangat pas menyatu dengan kisahnya yang melodramatik.
Walau secara teknis film ini sudah cukup mapan namun kembali masalah cerita serta kedalaman tema perlu digali lebih dalam lagi. Sebuah melodrama memang seringkali berakhir tragis namun bukan berarti ini dijadikan alasan untuk menyerah pada takdir. Rasa optimisme dan harapan bisa dicapai melalui proses bukan hasil akhir dan melalui sebuah perjuangan keras. Semoga ke depan remaja kita bisa mendapatkan tontonan yang lebih sehat dan positif yang mampu membangkitkan moral dan semangat mereka untuk menghadapi kehidupan masa kini yang penuh dengan tantangan.

Baca Juga  We Need to Talk About Kevin: Silangsunting Seorang Pribadi

 

Artikel SebelumnyaChronicle
Artikel BerikutnyaMy Sassy Girls, Kisah Cinta Tak Biasa
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.