Film ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Martin (Evan Sander) yang secara tak sengaja menabrak seorang gadis bernama Angel (Donita). Martin melarikan diri karena takut ditangkap polisi sementara Angel divonis lumpuh kedua kakinya. Martin setiap hari dihantui rasa bersalah dan untuk menghilangkan traumanya akhirnya ia memutuskan untuk menenangkan diri di villa milik keluarganya. Angel makin frustasi ketika sang pacar pergi dan akhirnya ia diajak sahabatnya untuk berlibur ke villa. Tanpa sengaja Martin dan Angel bertemu karena villa yang mereka tempati saling berdekatan. Martin tahu Angel adalah gadis yang ia tabrak. Namun, kondisi ini tak membuat Martin menjauh dari sang gadis justru ia malah berniat menebus kesalahannya. Mereka berdua menjadi semakin dekat dan saling menyukai satu sama lain.
Kisah film ini terinspirasi dari novel berjudul “My Last Love” karya Agnes Davonar. Sang sineas seperti kita telah ketahui telah bepengalaman menggarap melodrama yang menguras air mata penonton remaja sejenis ini, seperti Cinta Pertama, Kangen, dan Butterfly. Sang sineas mencoba membangun dengan sabar kesinambungan cerita serta konflik demi konflik namun hasilnya masih kurang terasa. Konfliknya terlalu dangkal dan kurang digali lebih dalam. Kasus seperti ini sudah terlalu sering kita jumpai di sinetron-sinetron kita yang sering memaksakan adegan tanpa sebuah argumen yang cukup. Hal ini tampak dari klimaks film ini yaitu ketika seorang tokoh utama mendadak jatuh sakit. Sebuah tragedi yang memilukan. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan filmnya? Takdir atau karma? Boleh jadi kisahnya memang ada benarnya bagian dari kenyataan hidup namun apakah tidak terlalu pesimis untuk tontonan remaja. Remaja kita rasanya butuh sesuatu yang lebih dari sekedar hanya tontonan yang menguras air mata. They need hope not regret.
Dari pencapaian teknis, setting di villa tercatat adalah yang cukup berhasil untuk menambah nuansa romantis antara Martin dan Angel. Dari sisi akting terlihat kedua bintang utama bermain sangat kaku hingga karakter Martin dan Angel tidak memiliki chemistry yang sepatutnya. Namun film ini cukup tertolong dengan ilustrasi musik melankolis yang cukup pas dan menyatu dengan adegan-adegannya. Instrumen piano yang mendominasi film ini sangat pas menyatu dengan kisahnya yang melodramatik.
Walau secara teknis film ini sudah cukup mapan namun kembali masalah cerita serta kedalaman tema perlu digali lebih dalam lagi. Sebuah melodrama memang seringkali berakhir tragis namun bukan berarti ini dijadikan alasan untuk menyerah pada takdir. Rasa optimisme dan harapan bisa dicapai melalui proses bukan hasil akhir dan melalui sebuah perjuangan keras. Semoga ke depan remaja kita bisa mendapatkan tontonan yang lebih sehat dan positif yang mampu membangkitkan moral dan semangat mereka untuk menghadapi kehidupan masa kini yang penuh dengan tantangan.