Never Let Go adalah film horor survival sekaligus thriller psikologis yang digarap oleh sineas spesialis horor, Alexander Aja. Film ini dibintangi oleh aktris ternama, Halle Berry, serta dua bintang cilik Percy Daggs IV dan Anthony B. Jenkins. Film berlatar cerita di hutan belantara ini berdurasi 101 menit dengan bujet produksi sebesar USD 20 juta. Apa lagi yang bisa ditawarkan film minim pemain ini bagi genrenya?

Dikisahkan seorang ibu (Berry) dan dua putranya, Nolan (Daggs) dan Sam (Jenkins) yang masih bocah, tinggal terisolir di tengah hutan belantara. Mereka telah tinggal di sana dalam sebuah rumah tua selama bertahun-tahun, bahkan dua putranya tidak pernah melihat dunia luar sama sekali. Sang ibu mengklaim jika iblis mengincar dan berusaha merasuki tubuh mereka melalui wujud yang beragam. Untuk keluar rumah, mereka pun menggunakan tali tambang panjang yang tidak boleh terlepas karena sang iblis akan segera mengincar mereka. Setelah bertahun-tahun hidup dengan pola yang sama dan makanan yang semakin sulit dicari, Nolan pun merasa letih dan bosan, hingga akhirnya tanpa sengaja melakukan sesuatu yang bisa membahayakan keluarganya.

Kisahnya memang mengingatkan pada A Quiet Place (2018), di mana kisahnya bertutur tanpa eksposisi dalam situasi yang sama sekali tidak kita pahami. Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, sejak kapan dan bagaimana mereka bisa berada di sana?  Ancaman adalah satu-satunya pondasi cerita yang bisa kita pegang dan itu pun masih banyak mengusik pertanyaan. Apakah iblis yang dilihat sang ibu adalah nyata atau imajinasi, atau ini gangguan kejiwaan/psikologis? Ini yang membuat plotnya menarik dan terus memancing rasa penasaran penonton. Premisnya juga memiliki kemiripan dengan The Watcher yang rilis beberapa bulan lalu, walau nuansa fantasinya lebih kental.

Baca Juga  Twisters

Seperti halnya A Quiet Place, plot minim pemain seperti ini tentu membutuhkan para pemain yang bertalenta bagus. Sang peraih Oscar, Halle Berry tentu tidak kita ragukan, dan ini adalah penampilan terbaiknya sejak beberapa waktu terakhir. Namun yang mencuri perhatian adalah permainan olah akting dua bintang ciliknya yang tampil amat memukau. Bermain dalam thriller psikologis macam ini jelas tidak mudah untuk bocah seumuran mereka. Ekspresi kedua pemain cilik ini sungguh mampu menghidupkan suasana dari momen ke momen, khususnya segmen klimaks, yang membutuhkan tidak hanya kematangan akting, namun juga fisik. Dua pemain ini, khususnya Percy Daggs mampu tampil prima sejak awal.

Never Let Go memiliki premis unik yang memancing rasa penasaran sepanjang durasi dengan dukungan dua kasting ciliknya yang menawan. Dibandingkan A Quiet Place yang banyak aksi, Never Let Go memang lebih lambat dan banyak bermain melalui dialog ekspresif. A Quiet Place jelas lebih menghibur bagi penonton awam. Kekuatan Never Let Go terbangun melalui sisi misteri dan ketegangan, namun masih banyak pertanyaan tentang motif cerita atau bahkan subteks (pesan)nya. Apa ini punya relasi dengan ras, keluarga, atau problem senada di negeri Paman Sam yang sudah sering kita lihat dalam film-film produksi AS. Ini memang masih sulit ditafsirkan mengingat eksposisi kisahnya yang minim. Kisah prekuel rasanya bakal menarik tapi tentu jika film ini sukses komersial, walau rasanya mustahil.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaOfficer Black Belt
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.