Setelah penantian beberapa bulan lamanya, akhirnya film horor unik Nosferatu rilis di Indonesia. Film arahan Robert Eggers ini merupakan remake dari film horor bisu ikonik produksi Jerman, Nosferatu: Eine Symphonie des Grauens (1922) karya F.W. Murnau. Film ini dibintangi oleh nama-nama besar, yakni Bill Skarsgård, Nicholas Hoult, Lily-Rose Depp, Aaron Taylor-Johnson, Emma Corrin, Ralph Ineson, Simon McBurney, hingga aktor kawakan Willem Dafoe. Di bawah tangan emas sang sineas dan kasting gemerlapnya, akankah Nosferatu menjadi salah satu karya terbaiknya?
Bagi yang pernah menyimak film bisu Nosferatu: Eine Symphonie des Grauens, kisah remake-nya ini tidak jauh berbeda banyak. Sewaktu puluhan tahun lalu menonton, cerita film ini mengingatkan betul pada novel populer Dracula karya Bram Stoker, yang pernah difilmkan pula oleh Francis Ford Coppola pada tahun 1992. Murnau tanpa malu-malu mengambil cerita aslinya dengan mengganti nama-nama karakternya menjadi nama “Jerman” untuk menghindari royalti. Dracula menjadi Orlock, Jonathan menjadi Thomas, Mina menjadi Ellen, serta Abraham Van Helsing menjadi Albin Eberhart von Franz. Konon, istri Stoker menggugatnya secara hukum dan menang. Seluruh kopi seluloid filmnya wajib dimusnahkan walau masih menyisakan beberapa yang hingga kini bisa kita nikmati sejalan dengan masa royaltinya yang akhirnya habis masa berlakunya. Nosferatu: Eine Symphonie des Grauens dianggap sebagai masterpiece dan menjadi salah satu film ekspresionisme paling berpengaruh di eranya.
Terlepas kontroversinya, capaian visual Nosferatu (1922) dengan kekuatan elemen mise_en_scene-nya tidak bisa dipungkiri menarik perhatian banyak sineas untuk me-remake-nya. Film ini juga menjadi inspirasi kisah Shadow of the Vampire (2000) yang merupakan cerita fiktif di balik layar produksi filmnya. Uniknya, film ini juga dibintangi Willem Dafoe yang berperan sebagai sang monster. Akhirnya, Robert Eggers yang kita kenal dengan gaya horor uniknya, yakni The Witch, The Lighthouse, dan The Northman berkesempatan membuat ulang versi modernnya. Sang sineas adalah salah satu talenta langka yang serumpun dengan Tim Burton dan Guillermo del Toro melalui kekuatan elemen mise_en_scene benuansa gotik yang karya-karya mereka menjadi simpatisan aliran ekspresionisme.
Bagi penikmat aliran ekspresionisme, film ini memberi rasa nostalgia hebat dengan kemasan jauh lebih modern. Eggers menggunakan nyaris semua elemen ekspresionisme dalam banyak adegannya, terutama di kastil Count Orlock. Beberapa shot adegan di sini pun terlihat menggunakan tribute shot-shot film lawasnya. Perpaduan gaya sang sineas tampak dalam setting gotik yang kelam, kontras antara gelap dan terang (low-key lighting), tone warna soft, close-up, hingga penggunaan elemen bayangan amat dominan dalam banyak adegannya. Satu adegan ikonik ketika sang vampir (hanya terlihat bayangan) menaiki tangga di adegan penghujung juga terasa kuat sebagai tribute film aslinya. Eggers mampu mengolah visualnya dengan begitu elegan dipadu dengan elemen musik yang mencekam hingga menimbulkan nuansa mistik yang luar biasa hebat seperti dalam film-film sebelumnya.
Di luar sisi visual yang mengagumkan, para kastingnya juga memberi dampak kuat dalam mendukung kisah filmnya. Dua kasting pendukung yang mencuri perhatian adalah Dafoe dan Ineson yang pernah bermain dalam film-film arahan Eggers sebelumnya. Mereka seperti telah paham apa yang diinginkan sang sineas yang memiliki gaya teatrikal kental, khususnya Dafoe yang bermain begitu ekspresif seperti yang ia lakukan dalam The Lighthouse. Satu pemain utama yang menjadi pusat perhatian tentu adalah Lily-Rose Depp yang bermain kalem dan manja sebagai Ellen Hutter, namun mendadak berubah begitu agresif dan liar ketika menjadi gundik sang iblis. Hoult bermain apik, namun tidak terasa dominan. Kasting lainnya juga tidak begitu menonjol kecuali Aaron Taylor-Johnson dalam beberapa adegan emosional.
Di luar kisahnya yang mencomot karya legendaris Bram Stoker, Nosferatu adalah unjuk kemampuan sang sineas untuk menegaskan gaya estetiknya yang khas. Mungkin tak ada yang bakal memasalahkan adaptasi kisahnya. Hal ini saya anggap sebagai langkah cerdik dari sang sineas untuk mencari cerita yang dianggap mampu mengoptimalkan semua potensi estetiknya. Job done! Nosferatu sukses di Academy Awards untuk semua aspek visualnya (sinematografi, tata artistik, kostum, dan tata rias wajah), juga pada puluhan festival film lainnya di kategori yang sama. Film ini bahkan sukses secara komersial (hingga artikel ini ditulis telah meraih lebih dari USD 172 juta secara global) dan masih terus berlanjut jika film ini sukses di Academy Awards. Saya hanya berharap di masa datang, Eggers lebih menggunakan sumber orisinal seperti The Witch dan The Lighthouse.