pelet tali pocong

Cinta ditolak, pelet bertindak. Pemakaian tali pocong sebagai alat pelet sebetulnya bukanlah sekali ini dalam film horor. Lima belas tahun lalu sudah ada Tali Pocong Perawan (2008) yang mengangkatnya. Walau dengan unsur sensualitas yang kental dan vulgar. Begitu pula sekuelnya. Kali ini tema serupa diangkat lagi melalui Pelet Tali Pocong arahan Dedy Mercy, dengan naskah garapan Yudianto Suros. Film produksi Clockwork Films diperani oleh Emil Kusumo, Keira Sabhira, Ucup Nirin –si Bang Ocid yang ikonik dengan gaya lawakannya, lalu para pendatang baru, Emma Waroka, Abey Ghifran, dan Mila Septiarini. Sangsi rasanya dengan film ini. Kita lihat saja.

Adam (Emil) mulanya adalah pekerja pabrik teh. Ia kerap memandang bosnya, Susan (Emma) dengan tatapan birahi. Adam pun melakukan ritual ilmu pelet tali pocong untuk memikat Susan hingga mengambil-alih harta kekayaannya. Namun setelah berhasil, ia justru tertarik dengan Anissa (Keira), anak pak ustaz (Ghifran) di desanya. Di tengah hasrat Adam yang besar itu, ritual tali pocongnya berdampak luas terhadap seisi desa. Warga kampung kerap diteror pocong. Penyelidikan pun dilakukan, tetapi menyebabkan salah seorang tokoh penting desa meregang nyawa.

Pocong adalah salah satu sosok hantu terpopuler dan paling sering muncul dalam film-film horor Indonesia selain kuntilanak. Setiap tahun, pasti terdapat pocong dalam salah satu film horornya, baik sebagai hantu utama seperti Pocong the Origin dan Mumun, maupun sampingan atau bawahan seperti Pengabdi Setan 2: Communion. Sosok ini pun memiliki sejarah panjang, karena telah diangkat dalam film horor Indonesia jauh sejak awal 2000-an.

Pelet Tali Pocong mengusung sosok pocongnya sebagai penebar teror ke seisi desa gara-gara ulah Adam. Seorang buruh pabrik teh yang kebelet nafsu memandangi bosnya. Bahkan setelah berhasil menikahi sang bos, dia juga berhasrat “mendapatkan” putri sulung ustaz di desanya. Penggunaan mitos tali pocong sebagai alat pelet sendiri hanyalah salah satu di antara beberapa mitos seputar tali pocong. Sayangnya, ide tersebut sudah diangkat dengan kuat dalam Tali Pocong Perawan dan sekuelnya. Bahkan ada beberapa unsur dalam Tali Pocong Perawan yang masih mendingan ketimbang Pelet Tali Pocong. Terlepas dari muatan vulgarnya.

Tali Pocong Perawan setidaknya dapat menjelaskan dari mana protagonis memperoleh sumber informasi tentang ilmu pelet tali pocong. Selain itu, ada pula informasi ihwal syarat kondisi pocong yang bisa digunakan, cara mengekstraksi kesaktian dari tali pocongnya, hingga efek samping dari tali tersebut. Namun, Pelet Tali Pocong sama sekali tak punya penjelasan ihwal semua itu. Adam tiba-tiba sedang dalam proses menggali kuburan dengan sendok di mulutnya di tengah hujan deras. Dari mana ia tahu syarat penggaliannya harus menggunakan sendok di mulut? Informasi yang muncul pada pertengahan film pun hanya menunjukkan Adam mempelajari ilmunya dari sebuah buku. Namun, dari mana buku tersebut?

Baca Juga  Esai dalam “Cin(T)a”

Kita tidak pernah mendapat informasi konkret mengenai siapa identitas pocong yang diincar Adam. Pelet Tali Pocong seakan menutup informasi soal itu dan baru membukanya pada akhir cerita hanya lewat satu scene, tetapi sayangnya tidak cukup. Tidak ada tanda-tanda kesamaan lokasi kuburan pada akhir cerita dengan yang makam digali Adam, atau tanda kesamaan lainnya. Bila memang keduanya merupakan kuburan yang sama. Pada akhirnya scene tersebut hanya melahirkan dugaan mengenai sosok sang pocong.

Dua dari banyak trik horor paling dominan dalam mayoritas film horor ialah gabungan permainan kamera dan suara untuk menciptakan jumpscare. Kita bisa dengan mudah menjumpainya nyaris dalam setiap film horor Indonesia. Akibatnya, gampang saja untuk menebak kapan dan di bagian mana sineas akan memberikan jumpscare, sehingga penonton pun dapat melakukan antisipasi dan terhindar dari kaget. Pelet Tali Pocong pun demikian.

Kendati dengan seabrek kelemahan tersebut, film ini masih bisa dianggap menyeramkan karena sosok pocongnya. Selain itu, faktor pembedanya dengan Tali Pocong Perawan adalah unsur keagamaan yang kuat dan penangkalan kiriman pelet. Bahkan serangan tak kasat mata yang dikirimkan Adam berbalik kepadanya. Adam pun dengan logis menumbangkan “penghalang”-nya bukan lewat serangan supranatural, melainkan menyewa pembunuh. Ketika rata-rata film horor hanya mengandalkan kekuatan gaib semata.

Pelet Tali Pocong sekadar menakut-nakuti tanpa memperhatikan kelengkapan informasi untuk menunjang logika cerita. Masih sangat mungkin menambah durasi film ini agar dapat memasukkan setiap informasi tersebut, daripada pasrah hanya dengan 77 menit. Rekam jejak sang sutradara pun masih belum pernah menghadirkan film horor yang istimewa dan hanya berakhir sebagai karya medioker. Begitu pula para produsernya. Khususnya Rajesh Punjabi yang Januari lalu memproduseri Hidayah, film horor pengusiran setan dengan banyak sekali kelemahan.

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaThe Super Mario Bros. Movie
Artikel BerikutnyaThe Pope’s Exorcist
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.