Aksi pengusiran setan bisa jadi sudah puluhan kali disajikan dalam medium film dalam beragam variasi genrenya. Seperti halnya, seri The Conjuring, The Pope’s Exorcist mendasari kisahnya dari satu sosok pendeta vatikan sungguhan bernama Gabrielle Amorth yang konon mengklaim telah ribuan kali melalukan aksi pengusiran setan. Kisahnya diadaptasi dari memoar sang pendeta yang bertitel An Exorcist Tells His Story dan An Exorcist: More Stories. Melihat gelagatnya, sepertinya ini bakal menarik.

The Pope’s Exorcist diarahkan oleh Julius Avery, sineas asal Australia yang membawa aktor kawakan asal Australia, Russel Crowe untuk bermain sebagai pendeta asal Italia. Film ini juga didukung oleh Daniel Zovatto, Alex Essoe dan aktor gaek Franco Nero sebagai sang Paus. Apakah film horor ini lantas mampu memberikan satu terobosan baru bagi subgenre exorcism?

Alkisah pendeta Amorth (Crose) diutus sang Paus (Nero) untuk menyelidiki sebuah kasus kerasukan di sebuah eks biara di Spanyol. Biara yang difungsikan menjadi rumah tinggal tersebut kini dihuni oleh pewarisnya, yakni Julia (Essoe) bersama putrinya, Ami dan sang adik, Henry, yang kini dirasuki entiti jahat. Didampingi seorang pendeta lokal bernama Esquibel (Zovatto), Amorth berusaha mencari identitas sang iblis yang rupanya memiliki sejarah yang panjang dengan bangunan biara tersebut.

Di awali dengan premis yang sangat menjanjikan, rupanya hanya sebatas ini pula plotnya menarik. Film ini dimulai dengan tipikal horor lazimnya, sebuah keluarga yang tinggal di rumah baru mereka. Sosok sang ibu, berseteru batin dengan putra-putri mereka sepeninggal ayah mereka. Alur plot yang seolah mengarahkan masalahnya ke sana, mendadak buyar dengan kehadiran sosok Amorth dengan membawa segala problem di belakangnya, dari institusi Vatikan yang melemah hingga trauma batinnya. Ini bukan lagi hal yang baru untuk genrenya, namun lantas kisahnya mau mengarah ke mana? Eksposisi tiap karakternya yang lemah plus konfliknya membuat kisahnya datar. Tak ada simpati untuk para tokohnya, hingga sang iblis seakan tidak menjadi ancaman berarti.

Baca Juga  The Hunt

Sebagai film horor, The Pope’s Exorcist tidak mampu memberikan sengatan yang berarti, hanya beberapa jump scare receh yang sudah terlalu sering kita lihat pada genrenya. Aksi pengusiran setannya juga sama, efek visual seringkali digunakan, dan tidak memiliki sense of realism layaknya seri The Conjuring. Tidak ada ketegangan akibat tidak adanya ancaman. Semua arah kisahnya mudah diantasipasi dengan segmen klimaks yang kurang membekas. Satu-satunya poin plus hanyalah set interior dan eksterior bangunan biara yang meyakinkan.

The Pope’s Exorcist adalah sebuah tontonan tanggung di antara ranah horor, fantasi, dan biografi. Film ini tidak memiliki premis berarti yang mampu membuat penonton untuk bisa peduli dengan para karakternya. Jika saja, sang protagonis utama digantikan oleh satu sosok jagoan, katakan saja, Constantine, justru ini akan membuat segalanya menjadi jelas dan tegas. Ini bukan perkara kita percaya iblis atau tidak, namun plotnya sungguh terlalu menggelikan. Jika ini dimaksudkan untuk membangun sebuah awal dari sebuah franchise man vs evil”, The Pope’s Exorcist’s mengawalinya dengan cara yang kurang meyakinkan. Sebagai film horor, film ini sama sekali tidak menakutkan. Sebagai film drama, film ini tidak memiliki sentuhan dramatik yang menggugah. Lalu sebagai film biografi, film ini terlalu bernuansa fantasi. Serba tanggung.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaPelet Tali Pocong
Artikel Berikutnya65
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.