Persepolis (2007)
96 min|Animation, Biography, Drama|22 Feb 2008
8.0Rating: 8.0 / 10 from 100,540 usersMetascore: 90
A precocious and outspoken Iranian girl grows up during the Islamic Revolution.

Persepolis (2006) merupakan film animasi produksi Perancis yang diadaptasi dari komik karya Marjane Satrapi. Film ini diarahkan oleh sang penulis novel sendiri bersama Vincent Paronnaud. Persepolis mendapat perhatian besar dari para pengamat terutama karena kemasan artistik serta nuansa politisnya. Film ini meraih Jury Prize dalam Cannes Film Festival serta masuk nominasi film animasi terbaik dalam ajang Academy Awards.

Sama seperti novelnya, kisah filmnya merupakan otobiografi dari sang penulis sendiri. Film berkisah tentang suka-duka kehidupan Marjane Satrapi sejak ia kecil hingga dewasa. Marjane bersama ayah, ibu dan neneknya tinggal di Teheran, Iran. Semasa kecil hingga remaja, ia hidup dalam suasana suhu politik negara yang memanas, yakni perlawanan rakyat terhadap syah Iran, kemenangan pihak fundamentalis, hingga perang Iran-Irak. Sikapnya yang selalu berontak terhadap rezim penguasa memaksa orang tuanya mengirim Marjane ke Eropa untuk meneruskan studinya. Namun keterasingan ditemui Marjane di tempat barunya hingga ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke negaranya.

Film ini menggunakan animasi 2-D tradisional yang menggunakan gaya serupa dengan komiknya. Teknik animasinya yang unik bisa dibilang mirip dengan pertunjukan wayang kulit dan sering kali menggunakan teknik siluet. Gaya animasinya secara artistik sangat efektif mengemas adegannya yang bersifat sureal, seperti ketika si Marjane kecil bertemu sang “Tuhan”, lalu ketika Marjane “terbang melayang” dengan pujaan hatinya, serta ketika ia depresi berat. Gaya animasi ini juga begitu pas untuk menggambarkan ringkasan peristiwa demi peristiwa yang terjadi (sekuen montase), seperti ketika paman Anouche mengisahkan pengalaman pahitnya di masa lalu, juga ketika Marjane menikah yang dituturkan melalui foto-foto pernikahannya. Ilustrasi musik yang sering kali menggunakan instrumen cello (bass) serta biola (treble) yang kadang bernada sendu dan kadang riang sangat efektif membangun mood tiap adegannya.

Cerita yang sangat padat dan kompleks ini dituturkan begitu ringan melalui teknik kilas-balik. Sineas menggunakan teknik warna untuk menggambarkan adegan masa kini dan warna hitam-putih untuk masa lalu yang mendominasi plot filmnya. Plotnya yang sarat dengan nuansa politis tampak sekali setelah kemenangan pihak fundamentalis. Cara berbusana, selera musik, minuman anggur, serta segala hal budaya barat dibatasi oleh aturan syariat yang ketat. Semuanya dituturkan melalui sindiran serta humor ringan seperti ketika Marjane pergi ke pasar gelap untuk membeli kaset grup metal Iron Maiden. Pula ketika Marjane yang tengah berlari mengejar bis, ia dihentikan dua orang polisi patroli, “Nona, jangan berlari karena pantat (maaf) Anda terlihat tidak pantas”. Sang gadis menimpali dengan sengit “Ya jangan lihat pantat saya!!”.

Baca Juga  The Great Dude, Ten Years After

Persepolis adalah film yang secara universal merupakan ungkapan serta ekspresi Marjane sebagai sineas dalam menuturkan pengalaman hidupnya. Baik segi artistik maupun naratif, film animasi ini merupakan sebuah pencapaian yang unik dan istimewa. Jika mengundang polemik hal ini tentunya wajar. “Punk is not Ded” (salah eja), tulis Marjane pada kaosnya. Benar atau salah sangat bergantung dari persepsi kita memandang.

Artikel SebelumnyaSekilas Sejarah Anime
Artikel BerikutnyaStar Wars: The Clone Wars, Konsumsi Home Video
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.