Terlahir dari dua tren, Racun Sangga adalah film bertemakan santet yang diadaptasi dari kisah nyata dari media sosial yang ditulis oleh Gusti Gina. Telah ditonton sebanyak 130.000 penonton lebih semenjak rilisnya 12 Desember lalu, film ini disutradarai oleh Rizal Mantovani, dan dibintangi oleh Frederika Cull dan Fahad Haydra.
Maya (Cull) berpisah dengan teman dekatnya, Duma, yang mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya setelah ia mengumpulkan cukup uang selama tiga tahun. Maya berkata bahwa Duma hanya perlu datang untuk menemui ayahandanya untuk meminta restu. Namun, Maya juga mengingatkan Duma bahwa jika ada seorang laki-laki datang melamar lebih dahulu dan ayahnya merestui, Maya akan menikahinya. Entah mengapa, Duma tidak segera datang bahkan hingga setahun Maya menunggu. Seorang lelaki lain pun hadir untuk melamarnya, bernama Andi (Haydra). Orang tuanya puas dan setuju menikahkan mereka setelah sebulan menjalani proses ta’aruf. Namun begitu menikah dan tinggal di rumah mereka sendiri, teror mulai mendatangi mereka. Racun Sangga dengan cepat menggerogoti tidak hanya tubuh Andi, namun juga jiwa mereka sedikit demi sedikit. Akankah mereka sanggup bertahan, ataukah mereka berpisah karena sihir mematikan ini?
Ini adalah kisah yang sangat sederhana. Di judulnya pun, Racun Sangga telah dijelaskan sebagai santet pemisah rumah tangga. Santet ini digambarkan sebagai kekuatan sihir yang luar biasa, yang mampu memisahkan dua pasangan, hingga bercerai, atau dengan kematian. Melihat semakin buruknya keadaan fisik Andi yang tak bisa dijelaskan dari sudut pandang medis, barulah Maya berusaha mencari solusi alternatif. Sepertinya sampai di sini cerita masih terdengar realistis dan masuk akal. Narasi ini begitu sederhana, familiar, dan disajikan dengan bersih mulus tanpa cela oleh pembuat filmnya, yang sukses membuat penonton merasa sedang mengalami sendiri semua peristiwa yang terjadi pada Maya.
Seperti ikut terkena dampak santetnya, duduk di bangku bioskop terasa tidak nyaman. Rasanya mengerikan sekali menyaksikan godaan-godaan menjijikkan, menyeramkan, mengerikan, dan menggelikan yang dilakukan makhluk gaib yang menghantui mereka. Semuanya dibawakan dengan sempurna, dengan ritme dan teknik yang apik. Sangat efisien, sangat menggelitik bulu kuduk, sangat sukses mentransfer rasa tidak nyaman dan tidak aman yang dirasakan Maya tinggal di rumah yang sama berdua dengan suaminya yang bukan hanya sakit, namun juga melakukan hal-hal aneh. Penonton benar-benar dipaksa untuk menikmati penderitaan pasangan ini detik demi detiknya.
Apa yang kurang? Musik? Akting? Trik kamera? Naskah? Dialog? Setting? Latar belakang cerita? Semuanya disusun dengan harmoni yang nyaris sempurna. Tidak ada yang terlalu berlebihan pula. Bagaimana bisa serealistis ini menceritakan sesuatu yang memiliki stereotip mitos? Sekali lagi, duduk di bangku bioskop terasa seperti berbagi siksaan dengan para tokoh di layar lebar, hingga penonton di sebelah saya terus bertanya, “Kapan selesainya?” Bukan karena bosan, tapi karena takut, tidak sabar untuk meninggalkan tempat yang tidak terasa aman ini. Rasanya seperti diserang dari setiap sudut. Penonton dipaksa menebak-nebak dari mana serangan selanjutnya datang? Apa yang akan terjadi berikutnya, dan mengapa begitu bertubi-tubi? Ini adalah contoh di mana konsep yang paling sederhana dieksplor dengan maksimal dari setiap sudut pandang.
Masuk pertengahan akhir, entah bagaimana penonton sudah dibuat ‘terbiasa’ dan ‘lelah’ dengan serangan-serangan ini. Bukan berarti rasa takut dan ngeri menghilang, tapi justru semakin meningkat. Rasanya seperti diseret di lumpur perlahan-lahan, merasa kotor dan lembab, tapi juga terjebak. Ternyata manusia bisa digiring ke situasi emosional seperti ini, yang mencerminkan hal yang sama persis yang terjadi pada Maya dan Andi. Sampai di sini, rasa kesal dan marah mulai muncul. Rasa ingin menyalahkan yang lain mulai terasa. Mereka mulai mencari musuh yang telah menghancurkan hidup mereka sedemikian rupa. Hingga semuanya terasa begitu rapuh dan lemah. Mereka sudah tidak lagi mampu mendukung satu sama lain. Ah, menarik sekali!
Ternyata seperti ini penggambaran realistis terbaik cara makhluk yang dipanggil menghancurkan rumah tangga? Kejam sekali menyaksikannya. Dan mengingat betapa dekatnya budaya ini dengan masyarakat Indonesia, mungkin banyak mulai bertanya-tanya, ‘apakah saya bisa sekuat mereka menghadapi ini?’ Mungkin bisa. Tapi sampai kapan? Sampai salah satu mati? Tidak tertahankan lagi rasanya, seperti disayat sedikit demi sedikit semakin dalam setiap detiknya. Serangan fisik, psikologi, emosional, dan serangan kepada keyakinan.
Jumpscare dan adegan seram elit, tidak ada badan terlempar-lempar dengan kekuatan telekinesis hantu, tidak ada tubuh mengambang, kerusakan lingkungan sekitar juga realistis, dan adegan berangin bagai badai juga sangat pas. Apalagi, tidak ada adegan gore dengan luka berdarah-darah! Semuanya tidak perlu!
Dan di film ini, saya menemukan penggambaran iman yang paling unik yang pernah saya saksikan. Ternyata, iman dan keyakinan bisa pula dilihat dari sisi-sisi ini. Meminta pertolongan dukun? Apakah boleh dalam agama? Tapi bagaimana jika sudah tidak ada jalan lain? Dan tiba-tiba, si dukun berkata, ‘Keimanan lebih kuat daripada sihir.’ Saya terkesan. Implikasinya di film ini, Tuhan mengirimkan bantuan-Nya lewat ciptaan-Nya yang tak kasat mata dan dukun itu sendiri. Jika Tuhan tidak mengizinkan, maka meski mereka berusaha sembuh, mereka juga tidak akan berhasil. Apa sembuh? Itupun tergantung mereka, apakah mereka bisa bertahan dalam keharmonisan rumah tangga? Bukankah ini konsep yang sangat realistis? Apakah setelah ditolong sekali, lalu sudah? Tentu tidak. Cobaan tidak semata-mata hilang, dan ini realita kehidupan.
Endingnya? Sempurna. Sempurna sekali. Menginspirasi, bahkan.
Cerita ini sangat memuaskan. Narasinya sederhana, namun berani mengambil risiko dan mengeksekusinya dengan sangat baik. Teknisnya begitu harmonis, hampir sempurna, namun tidak berlebihan. Tidak ada plot twist, dan tidak perlu ada. Ini adalah kisah yang sanggup menciptakan kedalaman lapisan interpretasi tanpa membutuhkan unsur-unsur seperti estetika, simbol, atau petunjuk-petunjuk kriptik. Ini adalah raw horror, tanpa satu pun gimmick yang muncul. Entah mengapa, tidak ada unsur ‘fantasy’ yang terasa di film ini, membedakannya jauh dari dunia nyata. Seolah penonton benar-benar sudah teryakinkan bahwa santet itu benar adanya. Sepertinya membandingkan film ini dengan film-film lain terasa tidak adil, bagi film-film yang lain. Sangat realistis, sangat masuk akal, hampir tidak ada poin untuk dikritik. Saya berdebat untuk memberikan film ini rating sempurna pertama saya.