Liburan natal masih terhitung lama, namun sudah menjadi tradisi di Bulan November merilis film-film keluarga bertema natal. Red One adalah film aksi komedi fantasi yang digarap oleh Jake Kasdan yang kita kenal melalui seri Jumanji yang dibintangi Dwayne Johnson. Dengan bujet raksasa USD 250 juta, film ini juga dibintangi nama-nama besar, sebut saja Chris Evan, J.K Simmons, dan Lucy Liu. Apakah film bertema natal ini mampu mencapai sukses komersial dengan bermodal aktor-aktor besarnya?

Callum Drift (Johnson) adalah seorang ELF yang merupakan pengawal utama dari Saint Nicholas alias Santa Claus (Simmons) yang kini tengah sibuk-sibuknya menjelang Malam Natal. Keberadaan Santa dan entitas mitologi lainnya rupanya selama ini sungguhan eksis dan dilindungi oleh sebuah lembaga rahasia multinasional yang dipimpin Zoe (Liu). Cerita bergulir ketika Santa diculik oleh kelompok misterius dan sang dalang berniat untuk menghukum semua anak nakal di bumi yang masuk dalam daftar hitam milik Santa. Satu-satunya orang yang mampu membantu mereka adalah seorang hacker bernama Jack O’Malley (Evans), seseorang yang tanpa sengaja memberikan lokasi North Pole kepada pihak penculik.

Tanpa banyak ekspektasi sewaktu menonton, siapa menduga Red One adalah film yang amat menghibur. Melalui sang bintang, The Rock, kita tahu persis apa yang bakal kita hadapi, yakni aksi dan aksi. Namun justru bukan unsur aksi semata yang membuat film ini begitu menghibur, namun adalah penampilan dua bintangnya dan sisi komedinya. Sepengetahuan saya ini adalah untuk pertama kalinya, Johnson dan Evans bertemu dalam satu frame. Siapa sangka, chemistry keduanya begitu asyik untuk ditonton. Peran yang pas bagi keduanya membuat kedua bintang ini bisa saling mengisi untuk menghibur penonton.

Baca Juga  Virgo and the Sparklings

Chris Evans yang berperan sebagai Jack bertindak sebagai penyeimbang cerita yang berada di pihak penonton. Sosok Jack seperti halnya kita, juga tidak memercayai sama sekali dunia mitologi yang ditawarkan kisahnya. Ini yang membuat segala halnya menjadi menarik. Semua hal yang baru bagi Jack adalah hal yang baru pula bagi kita. Ini tentu berujung pada kejutan demi kejutan melalui variasi setting dan puluhan karakter nonmanusia yang muncul pada tiap segmennya. Kelucuan demi kelucuan pun bermunculan tanpa kita bisa antisipasi. Bagi yang kangen dengan aksi-aksi Captain America, gaya bertarung Jack, tak ubahnya sosok ikonik yang diperaninya dulu. Nyaris sama persis.

Red One sesuai ekspektasi adalah sebuah film yang amat menghibur melalui sisi komedi dan chemistry dua bintangnya. Sekalipun nuansa fantasi begitu kental, Red One juga adalah film keluarga dengan pesan yang cukup menyentuh dan membumi. Hubungan Santa dan Cal, hingga Krampus, lalu hubungan Jack dengan putranya, dan tentu saja, Cal dan Jack, memiliki nilai-nilai keluarga dan persaudaraan yang demikian kental dan hangat. Momen-momen berkualitas kisahnya, bagi saya, justru ada pada dialog-dialog di antara mereka. Jangan lewatkan satu tontonan yang menghibur ini bersama keluarga.

Note: Melihat penggambaran Si Pengendara Kuda tanpa Kepala (Mitos The Headless Horsemen) yang begitu memukau, saya berharap sebuah sekuel yang menghadirkan sosok antagonis ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaAgatha All Along
Artikel BerikutnyaThe Paradise of Thorns
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.