Apa jadinya bila pergaulan bebas hingga hamil di luar nikah tak hanya menimpa sepasang remaja SMA, tapi membentuk serangkaian peristiwa panjang yang dilakukan oleh banyak orang? Agaknya pengembangan inilah tawaran film arahan Emil Heradi (sutradara Night Bus) berjudul Di Bawah Umur ini. Salah seorang di antara dua penulisnya –Titien Wattimena dan Sukhdev Singh—dikenal lebih sering menggarap skenario-skenario drama roman, sebagaimana genre film ini. Film produksi Screenmedia Films dan MD Pictures ini diperankan oleh Angga Yunanda, Yoriko Angeline, Amel Carla, Surya Saputra, Niniek L. Karim, Djenar Maesa Ayu, dan aktris pendatang baru Greesella Adhalia.
Aryo (Angga Yunanda) adalah remaja SMA dengan kenakalan yang telah dianggap biasa oleh warga sekolah dan ibunya. Di tengah kebandelannya, ia bertemu Lana (Yoriko Angeline), siswi baru pindahan dari Bandung yang dalam waktu singkat digandrungi oleh para siswa kelas 3. Berlatar belakang problematika keluarga masing-masing, keduanya saling terhubung dengan masa lalu teman dekat dan kerabat mereka sekaligus masalahnya. Sementara itu, ada persoalan masa lalu yang belum tuntas juga antara Ibu Aryo (Dian Nitami) dan Aryo; serta Aryo, Kevin (Naufal Samudra Weichert), dan Naya (Greesella Adhalia), hingga seringkali menyulut pertikaian di antara mereka.
Film ini semacam menjadikan satu Dilan 1990 dan Dua Garis Biru. Bukan perkara pemain, karena toh itu hal lumrah saat beberapa film diperankan oleh satu atau dua orang yang sama. Namun, konteks garis besar cerita, karakteristik tokoh, serta bentuk-bentuk pengadeganan rasanya takkan asing bagi siapa pun yang telah khatam menyaksikan Dua Garis Biru juga Dilan 1990. Tampaknya, ciri khas remaja SMA dalam Dilan 1990 memang tak ingin dilepaskan begitu saja oleh Titien Wattimena, yang nyatanya juga menulis film adaptasi itu dulu.
Cara penyampaian Dilan 1990 mungkin masih bisa diterima, karena sebagaimana yang kita ketahui merupakan adaptasi dari novel serta masih segar (setidaknya sebelum disusul oleh Dilan 1991 dan Milea). Dua Garis Biru saat penayangannya dulu pun patut dibanggakan karena pengalaman yang didapat saat menontonnya tak hanya sekadar cinta remaja SMA dan isu hamil di luar nikah belaka, tetapi juga bertabur simbol-simbol. Sekarang, hadir Di Bawah Umur yang mengombinasikan nilai lebih dari kedua film itu tanpa menawarkan perbedaan wajah. Seolah-olah tak ingin melepaskan euforia penonton Tanah Air (terutama para fans) terhadap Dilan 1990 dan Dua Garis Biru.
Walaupun barangkali ada niat baik di balik ‘pemanfaatan’ ini, dengan mengangkat kembali topik-topik seputar pergaulan remaja SMA, kenakalan-kenakalan, hingga persoalan “remaja SMA yang hamil di luar nikah”. Selain itu, ternyata ada langkah-langkah taktis yang dilakukan sineas agar Di Bawah Umur punya kelebihan, yakni kompleksitas hamil di luar nikah. Topik ini menjadi teramat tabu, karena faktor penyebabnya dilakukan oleh lebih banyak orang dan keluarga ketimbang cuma melibatkan sepasang remaja SMA dan dua keluarga, seperti dalam Dua Garis Biru.
Tak ingin berlama-lama memperkarakan dampak dari pepatah ‘tak ada yang baru di bawah matahari’ ini, pengemasan film roman remaja ini tak lebih dari sekadar hiburan semata. Segala aspek sinematik Di Bawah Umur tak mampu mengangkat filmnya sendiri agar patut diapresiasi lebih. Kalau bukan karena isu yang diangkat, film ini hanyalah roman picisan khas tahun-tahun 2017 hingga satu dekade ke belakang –sebelum Dilan 1990 rilis dan menguncang jagat sinema roman remaja. Terlebih aspek ‘dialog berbusa’-nya, tak bisa tenang terus meramaikan telinga penonton. Untung saja, beberapa nama pemain dalam film ini cukup bisa menarik minat penonton remaja –yang seperti diketahui bersama—menjadi konsumen terbesar dalam pasar perfilman di Indonesia.
Sayangnya, upaya sineas pun berhenti di titik itu. Keinginan mendulang minat menonton dari para remaja sambil menyuarakan isu hamil di luar nikah tak diimbangi dengan baik melalui eksekusi sinematik. Salah satu contoh kasusnya adalah pemanfaatan long take yang begitu tanggung. Siapa yang tidak tahu konsep pengambilan gambar yang dianggap prestisius di setiap kemunculannya itu? Namun, Di Bawah Umur sekadar memainkannya untuk mewadahi kebutuhan dialog panjang antara Aryo dan Lana, yang dalam penyampaiannya pun tak terasa ada bedanya bila dikemas tanpa long take. Bukankah ini buang-buang manfaat? Saat sineas lain menjunjung tinggi kaidah dan prasyarat agar bisa memaksimalkan nilai lebih dan keunggulan long take, film ini malah menggunakannya secara cuma-cuma. Sungguh mubazir.
Di Bawah Umur, sebatas mempertahankan kehangatan isu yang dipupuk oleh Dua Garis Biru, ditambah bumbu-bumbu euforia percintaan Dilan 1990. Perbedaan yang film ini coba hadirkan adalah keterlibatan lebih banyak tokoh sebagai pelaku, korban, teman, dan keluarga yang dibuat agar seolah-olah problematika “hamil di luar nikah” menjadi rumit. Bukan hanya dua keluarga belaka. Namun apakah itu cukup? Mengingat film tak hanya dibangun melalui kekuatan naratif dengan dialog yang berbusa, tapi juga sinematik.